Ads

Thursday, October 19, 2017

Banjir Darah di Borobudur Jilid 01

Kisah ini terjadi pada waktu agama Hindu dan Agama Budha berkembang luas, dan berpengaruh serta berkuasa di pulau jawa. Seribu tahun lebih yang lalu kedua agama ini yang datangnya dari India, membawa kebudayaan yang tinggi kepada rakyat di Pulau Jawa.

Betapapun besar dan hebat pengaruh agama-agama dan kebudayaan dari luar ini, namun tak dapat menghilangkan ciri-ciri yang khas pada bangsa pribumi, tak dapat melebur sama sekali kepribadian asli daripada penduduk pulau jawa.

Kepribadian asli ini ada pada tiap bangsa dimanapun juga, kepribadian yang bertumbuh di tanah air sendiri, yang terbentuk sesuai dengan keadaan alam, watak dan selera bangsa itu sendiri. Oleh karena inilah, maka agama dan kebudayaan luar yang masuk ke pulau jawa ini, setelah berkembang biak dan dapat di terima oleh seluruh rakyat, menjadi berubah sifatnya daripada aslinya. Hal ini terjadi karena agama dan kebudayaan itu tak dapat di terima bulat-bulat begitu saja oleh penduduk pribadi, akan tetapi disesuaikan dengan kepribadian sendiri.

Yang tidak sesuai dirubah sedemikian rupa sehingga cocok dan enak bagi selera sendiri. Maka bukanlah hal yang mengherankan apabila kedua agama besar yang berkuasa di Pulau Jawa, yaitu Agama Hindu dan Agama Budhha, dapat hidup bersama dengan rukun di Pulau Jawa padahal di tempat asalnya kedua agama ini dijadikan sebab dan dasar pertikaian dan peperangan.

Kenyataan ini menjadi betapa mulia, bijaksana, dan penuh cinta damai adanya watak daripada kepribadian rakyat yang menjadi penduduk pribumi di Pulau jawa. Agama apa saja, kebudayaan yang bagaimanapun juga, memasuki tanah air, diterima dengan ramah, akan tetapi tidak secara membuta.

Pengaruh-pengaruh dari luar itu takkan dapat memaksa ataupun membujuk bangsa pribumi, akan tetapi diterima dengan penuh kebijaksanaan dan kesadaran, dipakai mana yang dirasa baik, dibuang mana yang dirasa kurang.

Kebijaksanaan ini tidak hanya nampak pada sikap rakyat jelata, bahkan di pelopori oleh Raja sendiri yang berkuasa di masa itu. Raja tidak melarang rakyatnya memeluk agama yang mana saja, baik Agama Hindu, maupun Agama Buddha, di pandang tinggi dan hal ini terbukti sampai sekarang dengan adanya candi-candi tempat pujaan penganut Agama Hindu maupun Agama Buddha.

Kisah ini terjadi antara tahun 700 sampai 850 pada waktu jaman di jawa tengah berkuasa dua kerajaan besar, yaitu Kerajaan Mataram dan Kerajaan Syailendra. Raja di Mataram adalah sang Prabu Sanjaya, yang selain pandai memegang kendali pemerintahan, juga amat sakti mandraguna sehingga dengan bala-tentaranya yang kuat, Sang Prabu Sanjaya menaklukan banyak raja-raja kecil di Pulau jawa bahkan sampai di tanah seberang lautan.

Kerajaan Mataram beragama Hindu dan menyembah dewa-dewa, di antaranya yang mendapat tempat tinggi adalah batara Aviwa yang juga disebut batara Guru dan kadang-kadang menjadi dewa pembinasan yang disebut Batara Kala

Kerajaan Syailendra yang tadinya menjadi negara taklukan dari Kerajaan Mataram dirajai oleh Sang Prabu Samaratungga, atau Maha Raja Samaragrawira. Raja inipun terkenal sebagai seorang raja yang adil dan bijaksana sehingga rakyat yang berada di bawah pemerintahannya hidup makmur. Raja ini, berbeda dengan Kerajaan Mataram yang memeluk Agama Hindu, beragama Buddha dan sedemikianpun seluruh keluarganya.

Betapapun bijaksananya kedua raja ini dan betapapun taatnya rakyat kedua kerajaan, namun perbedaan kepercayaan ini tetap saja merupakan perbedaan faham yang sering kali menimbulkan bentrokan antara orang-orang yang berdarah panas dari kedua belah fihak.

Memang sedemikianlah keadaan para pemeluk agama semenjak dahulu sehingga kini. Para pemeluk agama yang pengetahuannya tentang pelajaran agamannya itu baru setengah-setengah dan masih amat dangkal, selalu menyombongkan agamannya sendiri dan merendahkan agama kepercayaan lain orang.






Berbeda dengan para pendeta atau pemeluk agama yang benar-benar sudah mendalam pengetahuannya dan yang telah menjalankan ibadat yang suci dengan penuh kesetiaan dan kesadaran, mereka telah menjadi orang yang bijaksana dan tahu menghargai serta menghormati kepercayaan orang lain.

Sering kali terjadi bentrokan-bentrokan kecil antara orang-orang dari dua golongan ini, terutama sekali apabila golongan yang satu mendirikan sebuah candi tempat pemujaan, selalu diejek dan diganggu oleh golongan lain sehingga menimbulkan pertengakaran dan perang kecil-kecilan.

Permusuhan mempunyai sifat panas bagaikan api, kalu tak segera di padamkan dan menjalar, dapat berubah menjadi lautan api dimana Dewi Agoi berpestapora dan mengamuk. Demikianpun dengan perselisihan-perselisihan kecil itu, lambat laun menjalar sampai kedalam keraton kedua kerajaan!

Kedua raja tentu saja menjaga kedaulatan dan kekuasaan masing-masing dan mulailah terjadi permusuhan dan persaingan antara kedua raja yang berlainan agama ini. Tidak saja berebut dalam hal memperbesar pengaruh dan memperluas wilayah kekuasaan, akan tetapi juga bersaing dalam hal pendirian candi-candi.

Kerajaan Mataram membangun banyak sekali candi-candi pemujaan pada Dewata menurut kepercayaan Agama Hindu, sedangkan Maha Raja samaratungga membangun candi-candi Agama Buddha untuk menyaingi lawannya itu.

Di dalam keadaan yang kacau dan penuh permusuhan inilah, kisah ini terjadi dan dimulai!

***

Musim kemarau mengeringkan air-air sawah dan sungai-sungai kecil. Bahkan Kali Praga yang biasannya mengalirkan air bening melimpah-limpah itu, kini nampak hampir kehausan dan megap-megap tertimpa cahaya matahari yang amat teriknya.

Batu-batu besar menonjol mengantikan kedudukan air yang telah habis ditelan dan diminum oleh hamba sahaya Ratu Segara Kidul, sekitar Kali Praga nampak sunyi senyap. Sunyi dan mati karena tidak ada angin sedikitpun, seakan-akan Sang Batara Bayu. Dewa Angin itu juga menderita kepanasan karena teriknya matahari dan sedang beristirahat.

Pohon-pohon dengan daun-daunnya yang mengering itu diam tak bergerak sediam batu-batu yang menonjol di dalam kali yang kering. Hanya sedikit air keruh di tengah-tengah kali yang menonjol di dalam kali yang nampak hidup, bergerak perlahan bagaikan ular yang sudah sekarat, mencari jalan menurun diantara batu-batu kali itu. Seakan-akan mencari tempat teduh untuk berlindung dari kemurkaan Sang Batara Surya.

Sesungguhnya, keadaan tidak semati itu, karena dipinggir sungai, duduklah seorang pemuda diatas rumput kering. Memang, nampaknya pemuda ini juga sudah berubah menjadi patung batu, karena ia duduk diam tak bergerak sedikitpun. Hanya dadanya yang telanjang itu masih menyatakan bahwasannya ia masih hidup, karena masih bergerak naik turun dalam pernapasan.

Pemuda ini masih remaja, usianya takkan lebih dari tujuh belas tahun. Dia seorang pemuda yang elok sekali, raut mukanya tajam dan sempurna, tak ubahnya seperti wajah Sang Arjuna tengah bertapa di tepi sungai. Kulit tubuhnya, dari mukanya yang tampan, sampai kepada dadanya yang bertelanjang dan kakinya yang nampak dari betis ke bawah, amat bersih dan halus, akan tetapi matang dalam panggangan sinar surya. Lengan tangannya yang bulat berisi, dadanya yang bidang, pinggang yang kecil dan betisnya yang penuh dan kuat itu menujukkan bahwa di dalam tubuh pemuda ini tersimpan tenaga yang kuat dan kesehatan yang sempurna.

Wajahnya yang tampan itu mempunyai cahaya yang berbeda dengan pemuda-pemuda biasa di dusun-dusun. Sepasang matanya bening dan terang, mempunyai sinar tajam yang menembus apa yang dilihatnya. Keningnya lebar dan mulutnya, ditarik angkuh, membuat mukanya tampak agung.

Orang yang melihat pemuda ini tentu akan menduga bahwa ia adalah seorang berdarah keraton atau setidaknya keturunan bangsawan dan kesatria. Dugaan ini memang tidak terlalu keliru, karena sungguhpun pemuda ini memang bukan putera bangsawan, namun ia adalah putera seorang Pendeta Agama Buddha yang bernama Sang Wiku Dutaprayoga, yang selain menjadi pendeta juga bekerja sebagai ahli pembuat senjata keris, pedang dan lain-lain dari Maha Raja Samaratungga dari Kerajaan Syailendra.

Sang Wiku Dutaprayoga berasal dari Mataram dan belum lama ia memeluk Agama Buddha. Maha raja Samaratungga tertarik akan kepandaiannya membuat senjata dan mengangkatnya sebagai ahli pembuat keris di kerajaannya, kemudian memberinya banyak hadiah dan kedudukan tinggi.

Pada waktu itu, ia masih beragama Hindu dan memuja Trimurti, yaitu Tiga Suci , Dewa Brahma, Syiwa, dan Wisnu. Setelah bekerja di Kerajaan Syailendra dan mempelajari filsafah Agama Buddha, hati sang panembahan Dutaprayoga tertarik dan kemudian ia dianugrahi gelar Wiku oleh Maha Raja Samaratungga.

Istrinya yang amat keras hati dan menjadi pemuja Trimurti yang amat tekun dan setia, ketika melihat suaminya mengikuti aliran Agama Buddha, menjadi patah hati dan bersedih sehingga ia membuang diri sampai tewas di kali Paraga pada saat kali itu banjir. Semenjak itu, Sang Wiku Dutaprayoga hidup berdua dengan seorang puteranya yang telah di tinggalkan oleh ibunya pada waktu itu ia berusia sepuluh tahun.

Pemuda yang kini duduk termenung di pinggir Kali Praga itulah putera tunggal Sang Wiku Dutaprayoga. Ia bernama Indrayana dan semenjak kecil ia telah mendapat gemblengan ilmu kepandaian olah kedigdayaan dari ayahnya yang juga terkenal amat sakti dan digdaya, kalau melihat orangnya yang demikian halus dan lemah lembut, tampan dan sopan seperti orang bambang ahli tapa brata, orang takkan mengira bahwa pemuda yang lemah lembut ini memiliki tenaga yang dapat mengalahkan seekor banteng liar, memiliki kesigapan bagaikan seekor burung srikatan, kecekatan dan ketrampilan seperti seekor monyet putih.

Sukarlah membayangkan betapa jari-jari tangan yang kecil dan berkulit halus itu dapat menempa sepotong baja yang sedang membara, memijit-mijit dan membentuk baja menjadi sebilah keris ampuh bagaikan orang bermain-main dengan tanah lempung saja.

Memang, Indrayana telah mewarisi ilmu kesaktian ayahnya. Menurut pantasnya, pemuda ini tentu merasa puas dan bahagia. Kedudukan ayahnya cukup tinggi, terhormat dan disegani oleh rakyat jelata dan pembesar, dicintai oleh Sang Prabu Samaratungga sendiri. Dia sendiri telah mewarisi kepandaian tinggi, berwajah elok dan menjadi impian para dara jelita di kerajaan itu, makan cukup pakaian tak kurang. Akan tetapi mengapa ia sering kali duduk termenung di tepi Sungai Praga?

Sesungguhnya banyak sekali hal berkecambuk dalam hati dan pikiran pemuda ini. Hal-hal yang membuatnya seringkali melamun, bermuram durja, gelisah, duka, dan kecewa. Pertama-tama ia selalu teringat akan bundanya yang telah membuang diri sampai tewas di Sungai Praga. Kedua, hatinya berduka menyaksikan pertikaian-pertikaian yang tiada habisnya antara orang-orang Mataram dan orang-orang Syailendra, antara pemuja Agama trimurti dan Agama Buddha. Dalam hal ini, ia sependapat dengan ayahnya.

Juga Sang Wiku Dutaprayoga selalu berduka kalau mendengar akan pertikaian itu. Betapapun juga, Sang Wiku maklum bahwa kedua agama ini semua baik dan murni, mengandung pelajaran kebatinan yang tinggi dan yang dapat menuntun manusia kearah jalan yang benar, membuka mata manusia untuk mengenal diri pribadi, dan mengingatkan mereka akan asalnya.

Adapun hal ketiga, yang membuat hati Indrayana selalu rusuh dan binggung, adalah persaingan pembuatan candi. Ia telah menjadi seorang penduduk dan rakyat Kerajaan Syailendra, maka tentu saja terkadang harapan di dalam hatinya untuk melihat bahwa candi-candi yang didirikan oleh Kerajaan Syailendra lebih agung, lebih besar, lebih mewah dan indah. Akan tetapi, ahli-ahli ukir di Mataram selalu membuktikan bahwa dalam hal kesenian, merekalah yang lebih unggul dan lebih ahli.

Indrayana, di samping kepandaian-kepandaian yang diwarisinya dari ayahnya, juga suka sekali akan kepandaian seni ukir. Ia mempelajari seni ukir. Ia mempelajari seni ukir dari ahli-ahli pahat dan ukir yang tersohor di Syailendra, akan tetapi hatinya masih belum puas. Ia selalu terbentur kepada kenyataan bahwa keahlian dalam hal seni ukir sudah tak dapat menyamai kepandaian ahli di Mataram sebagaimana terbukti daripada hasil-hasil ukiran yang halus dan indah di candi-candi yang didirikan oleh orang Mataram.

Sering kali ia berdiri termenung di depan candi-candi Syiwa dan lain-lain untuk mengagumi keindahan patung-patung yang diukir disitu. Patung-patung itu dalam pandangannya seakan-akan hidup, seakan-akan di bawah kulit patung itu betul-betul terdapat urat-urat yang mengalirkan darah. Sepasang mata patung-patung itu seperti hidup dan berkedip-kedip kepadanya untuk memamerkan keindahannya.

Buah dada yang membusung dan indah bentuknya dari patung-patung wanita naik turun berombak, seakan-akan menahan gelora napasnya yang menjadi berahi karena ditatap oleh mata seorang pemuda tampan dan elok seperti Indrayana. Dan kalau sudah mengagumi ini semua, ia pulang dan mengadu kepada ayahnya mengeluh panjang pendek.

“Indrayana, anakku.“ ayahnya berkata sambil menghela napas. “Tak perlu engkau merasa iri hati melihat hasil ukiran orang-orang Mataram. Disana memang terdapat banyak sekali ahli-ahli ukir yang pandai dan sakti .”

“Akan tetapi, ayah, Mustahil sesuatu kepandaian itu hanya dimiliki oleh seorang atau segolongan orang-orang saja. Kalau kita benar-benar mengusahakannya untuk mempelajari dengan rajin dan tekun, mengapa tidak bisa ? Apa yang dapat dilakukan oleh orang lain, pasti akan dapat kita lakukan pula asal saja mendapat petunjuk dan bimbingan orang yang pandai. Aku ingin sekali mempelajari ilmu itu sampai dapat, ayah. Hanya soalnya, dimanakah aku dapat mencari seorang guru yang pandai ?“

Banjir Darah di Borobudur





http://ceritasilatnusantara13.blogspot.co.id/2017/10/banjir-darah-di-borobudur-jilid-01.html

No comments:

Post a Comment