Ads

Thursday, October 19, 2017

Banjir Darah di Borobudur Jilid 08

Ternyata bahwa Panembahan Bayumurti telah melompat dan kini dengan sekali renggut saja ia telah melepaskan tambang yang mengikat tubuh Indrayana!

“Pergilah ! “ katanya kepada Indrayana. “ Pergi dan bawalah murid dan anakku serta ! Biarlah aku menghadapi orang-orang mabok angkara ini ! “

Indrayana tidak berani membantah dan ia lalu melanjutkan perjalanannya bersama Raden Pancapana dan dara jelita Candra Dewi. Tak ada seorangpun rombongan dari Syailendra ini yang berani mencegah mereka, karena disitu terdapat panembahan Bayumurti yang berdiri dengan tenang dan tersenyum. Melihat cara penembahan Bayumurti melepaskan ikatan Indrayana, maklumlah ia bahwa pendeta ini memiliki kesaktian yang tak boleh dipandang ringan.

“Wisananda ! “ Bayumurti menantang lagi. “ Mengapa engkau tidak bergerak ? Apakah engkau hanya berani menjatuhkan tangan kepada orang-orang muda saja ? “

Pendeta Bangsa Hindu itu menggelengkan kepala,
“Aku segan untuk bertempur melawan seorang ahli seni yang kukagumi. “

Maha Wiku Dharmamulya sudah sampai disitu pula. Dengan marah ia menuding kepada Bayumurti dan berkata,

“Bayumurti ! Engkau seorang Mataram mengapa tidak tahu malu dan mencampuri urusan orang-orang Syailendra? Indrayana adalah orang Syailendra dan sudah menjadi hak kami untuk menangkapnya atas perintah Maha Raja kami, mengapa engkau berani mencampurinya?“

“Mataram dan Syailendra hanyalah sebutan orang belaka,“ jawab panembahan Bayumurti dengan tenang, “akan tetapi Indrayana, engkau atau aku juga manusia biasa yang sama-sama berkulit dagimg. Melihat seorang manusia dikejar-kejar dan hendak dikuasai oleh orang-orang lain yang terdorong oleh nafsu angkara murka, tentu saja sudah menjadi kewajibanku untuk menolongnya. “

“Bayumurti, engkau ternyata sombong dan mengandalkan kepandaianmu. Penangkapan atas diri Indrayana adalah perintah Maha Raja Samaratungga karena Indrayana telah melakukan pelanggaran dan kekurang ajaran di hadapan raja. Sekarang engkau menghalangi kami menangkapnya, itu berarti engkau telah menghina titah raja. Apakah engkau berani mempertanggung jawabkannya dan meghadap kepada Sang Prabu ?“

“Mengapa tidak berani? Aku memang hendak pergi kesana, hendak membebaskan Wiku Dutaprayoga yang telah kena fitnah oleh ketajaman lidahmu ! Akulah yang bertanggung-jawab untuk semua perkara ini, baik urusan mengenai diri Wiku Dutaprayoga maupun mengenai urusan puteranya, Indrayana !“

Demikianlah, rombongan pasukan Syailendra yang dikepalai oleh Maha Wiku Dharmamulya itu kembali ke Kerajaan Syailendra sambil membawa Panembahan Bayumurti di tengah-tengah mereka.

Rakyat yang telah mendengar tentang ditangkapnya Wiku Dutaprayoga dan dikejarnya Indrayana putera Wiku itu, menyambut kedatangan rombongan itu dengan heran, karena mereka tidak melihat Indrayana tertangkap, sebaliknya rombongan itu membawa seorang pendeta Mataram yang nampak tenang dan tersenyum-senyum saja.

Akan tetapi banyak orang, terutama para dara, merasa lega karena Indrayana yang mereka sayang itu tidak tertangkap. Ketika mereka mendengar bahwa pendeta ini adalah pendeta yang telah mengacaukan pembukaan Candi Lokesywara dan telah menyumbangkan sebuah patung Dewi Tara yang kemudian dirobahnya menjadi patung Puteri mahkota, orang-orang lalu berduyun-duyun datang untuk menyaksikan pendeta yang aneh dan pandai itu.






Maha Wiku Dharmamulya lalu membawa sendiri pendeta Mataram itu menghadap kepada Sang Prabu Samaratungga. Maha Raja inipun agak tercenggang ketika melihat bahwa yang dihadapkannya bukan Indrayana pemuda yang berani dan kurang ajar itu, melainkan pendeta yang telah menggegerkan pembukaan candi.

Hati Sang Prabu kurang enak melihat wajah Panembahan Bayumurti yang memandangnya dengan tajam, karena Sang Prabu maklum bahwa pendeta ini adalah seorang yang sakti dan tidak enaklah untuk berurusan atau lebih-lebih bermusuhan dengan orang yang berwajah tenang, bermata tajam dan bibir selalu tersenyum itu.

Dengan sabar Maha Raja Samaratungga mendengarkan laporan Maha Wiku Dharmamulya tentang penangkapan atas diri Indrayana yang di gagalkan oleh Bayumurti yang kini datang mempertanggung jawabkan perbuatannya itu.

“Panembahan Bayumurti.“ berkata Sang Prabu dengan muka muram. “Kau adalah seorang panembahan, seorang ahli kebatinan yang seharusnya mengutamakan perbuatan baik dan ketentraman. Akan tetapi mengapa engaku sengaja mendatangkan kekacauan dan sengaja menghalangi kehendakku menangkap Indrayana, seorang hambaku sendiri? Panembahan Bayumurti, bukankah ini berarti bahwa kau telah berlaku keterlaluan dan kau terlalu mengunggulkan kesaktianmu?“ Maha Raja Samaratungga menahan napas untuk menekan gelora kemarahannya. “Atau kau sengaja melakukan hal ini untuk menghinaku ? Ketahuilah, hai panembahan sesat, raja junjunganmu sendiri di Mataram tidak berani berlaku kurang hormat seperti ini terhadapku ! “

Panembahan Bayumurti yang tadinya tersenyum-senyum, kini menahan senyumannya dan memandang dengan sungguh-sungguh, lalu memberi hormat kepada raja besar itu.

“Sang Prabu yang bijaksana dan budiman,“ katanya tenang, “hamba cukup menghargai paduka, bahkan persembahan patung itupun hamba maksudkan sebagai tanda penghargaan hamba. Paduka adalah seorang raja besar, berbeda dengan raja di Mataram yang makin kehilangan pamornya, karena kurang bijaksana dan tidak dapat mengatur pemerintahan seperti paduka. Hamba sekali-kali tidak berniat hendak mengacaukan Negara Syailendra. “

“Kalau memang demikian pendirianmu, mengapa kau selalu menghalangi tugas Maha Wiku yang bertindak atas perintahku ? Mengapa pula kau menolong Indrayana dan sesungguhnya, apakah maksudmu datang di Syailendra? Apakah karena kau terbawa oleh arus pertikaian antara agamamu dan Agama Buddha ? Ketahuilah, bahwa kami sendiri menganggap segala pertikaian itu sebagai kebodohan anak-anak kurang mengerti akan keadaan yang sebenarnya. Aku sendiri tidak suka menyaksikan segala macam permusuhan itu terjadi. Apakah kau sengaja datang menghina para penganut Buddha di kerajaanku ini ? “

“Dijauhkan oleh dewata pikiran macam itu dari kepala hamba !“ jawab Panembahan Bayumurti. “Sesungguhnya, Sang Prabu yang mulia, tak hendak mendahului kehendak Dewata, akan tetapi waktunya akan segera tiba dimana Tanah Jawa akan tentram bahagia, tidak ada pertikaian dan perbedaan faham antara Syailendra dan Mataram. Kedua agama akan hidup rukun dan penuh pengertian, saling mengalah. Bahkan bukan tidak mungkin kedua agama akan di junjung tinggi bersama oleh kerajaan di Jawa ! hamba datang hanya sebagai pelopor, hendak memperlebar jalan terlaksananya hal yang amat baik dan sempurna itu, Sri Baginda ! Hendaknya diingat bahwa segala macam kebahagiaan itu tidak dapat datang begitu saja, tanpa mengalami kepahitan dan kesukaran terlebih dahulu. Banyak rintangan nampak di depan, banyak…… ah, banyak sekali, Sang Prabu, akan tetapi, demi kemurahan semua Dewata, juga kemurahan Sang Buddha yang paduka puja, akan tibalah saat yang baik itu ! “

“Tutup mulutmu yang mengoceh tidak karuan !” Tiba-tiba Maha Wiku Dharmamulya yang duduk di dekatnya membentak.

Akan tetapi sebelum Maha Wiku ini melanjutkan bentakannya, Maha Raja Samaratungga memberi tanda dengan tangannya agar pendeta kepala itu berdiam diri, kemudian ia tersenyum dan berkata kepada Panembahan Bayumurti,

“Segala harapanmu itu baik-baik saja, Bayumurti. Akan tetapi engkau telah menyimpang daripada percakapan semula. Yang hendak kuketahui hanya mengapa engkau menghalangi kehendakku menangkap Indrayana ! “

“Gusti Prabu yang bijaksana ! Paduka tentu tidak khilaf lagi tentang hukum sebab dan akibat. Segala tindakan Wiku Dutaprayoga yang kini ditangkap, dan juga tindakan Indrayana yang melarikan patung, itu semua hanyalah akibat. Mengerjar dan menyalahkan akibat tanpa menengok lagi sebab-sebabnya adalah perbuatan yang sesat dan bodoh, sama halnya dengan menyiramkan minyak wangi pada sebuah kamar yang berbau busuk karena ada bangkai tikus di bawah balai-balai, tanpa mencari bangkai itu dan membuangnya ! Dalam hal ini, yang menjadi sebab adalah hamba sendiri dan perbuatan hamba ! Kalau hamba tidak datang mempersembahan patung kepada paduka, tentu Maha Wiku Dhamamulya tidak marah dan hendak menikam hamba dan Wiku Dutaprayoga tidak membela hamba serta menghalangi maksud dan kehendak Sang Maha Wiku. Kalau hamba tidak merobah patung itu seperti Puteri Paduka, tidak nanti Indrayana akan mencuri patung itu dan menjadi orang buruan! Dengan demikian, pokok pangkalnya semua peristiwa ini adalah perbuatan hamba dan hambalah yang harus menerima amarah paduka ! Hamba yang akan mempertanggung-jawabkan perbuatan Wiku Dutaprayoga dan puteranya itu dan kalau paduka hendak menjatuhkan hukuman, jatuhkanlah kepada hamba! Hamba menuntut kebebasan Wiku Dutaprayoga dan Indrayana !“

Maha Raja Samaratungga tertegun mendengar ucapan ini. Ia merasa terheran mengapa Kerajaan Mataram makin mengecil dan menyuram, padahal negara itu mempunyai banyak orang-orang pandai dan waspada seperti pendeta ini ! Semenjak Sang Prabu Sanjaya meninggal dunia dan singgasana Mataram diduduki oleh Raja Panamkaran, mulai nampaklah kemunduran besar pada kerajaan itu.

“Panembahan Bayumurti, engkau benar-benar aneh.“

“Gusti Prabu, memang manusia ini makhluk yang paling aneh di atas dunia !“

Belum pernah Maha Raja Samaratungga melihat seorang pendeta yang pandai, ramah-tamah dan berani seperti pendeta ini, maka timbullah rasa suka dalam hatinya.

“Biarlah, kubebaskan Wiku Dutaprayoga dan kuampunkan kekurang ajaran Indrayana. Juga engkau boleh pergi dengan bebas, asal saja jangan kau ulangi perbuatanmu yang dapat menimbulkan salah faham kepada hamba sahaya di kerajaanku. Tentang harapan dan cita-cita yang baik itu,“ sampai disini Maha Raja Samaratungga tersenyum dan matanya berseri, “biarlah kau serahkan kepada kebijaksanaan para Dewata, karena itu bukanlah tugas kita manusia!“

“Sang Prabu !“ tiba-tiba Maha Wiku Darmamulya menyembah, “hamba tidak setuju kalau pendeta ini di lepaskan begitu saja! Ini berarti merendahkan derajat Kerajaan syailendra sendiri, Gusti !“

Maha Raja Samaratungga berkata dengan sabar,
“Maha Wiku, aku tidak bisa mengangkat dan mengagulkan derajat sendiri.”

“Akan tetapi, selain itu, pendeta inipun telah menghina Agama Biddha! Sepak terjangnya jelas meremehkan agama kita dan hal ini kalau didiamkan saja amat berbahaya, Sang Prabu! Kalau pendeta yang menghina agama kita ini dibebaskan begitu saja, hamba khawatir kalau-kalau sebentar lagi pendeta Trimurti dan semua penganutnya akan berlaku kurang ajar dan sewenang-wenang terhadap kita ! “

“Akan tetapi, aku telah memberi kebebasan kepadanya, Maha Wiku, dan sabda seorang Ratu tak dapat disangkal pula.“

“Memang demikianlah hendaknya, Sang Prabu, akan tetapi, pendeta ini masih harus berurusan dengan hamba. Sebagai pendeta kepala, hamba berhak pula mengadilinya, berdasarkan kesalahan kedosaannya terhadap agama kita. Perkenankanlah hamba bicara dengan pendeta sesat ini, Gusti.“

Terpaksa Maha Raja Samaratungga memberi perkenan, karena iapun tidak merasa enak hati kalau sampai mengecewakan hati Maha Wiku yang berpengaruh itu.

“Bayumurti!“ kata Dharmamulya dengan muka keren. “Sebagai seorang pendeta, apakah kau begitu tak tahu malu untuk menarik kembali kesanggupanmu yang telah keluar dari mulutmu yang palsu? Kau telah mengatakan bahwa kau akan mempertanggung jawabkan kesalahan Dutaprayoga dan Indrayana. Kau sanggup untuk menerima hukuman yang dijatuhkan kepada mereka bukan ? “

“Aku mengerti maksudmu, Maha Wiku Dharmamulya, teruskanlah !“

“Sesungguhpun Sang Prabu telah mengampuni kedua orang ayah dan anak itu, namun sebagai pendeta kepala, akupun berhak mengadilinya. Menurut hukum, orang yang berani menghina pendeta kepala, dapat dihukum kubur hidup-hidup, orang yang berani mencuri patung dari candi, dapat dihukum penggal kepala. Apakah kau masih berani menerima hukuman yang hendak kujatuhkan kepada mereka ?“

“Tentu saja berani, Dharmamulya. Teruskanlah !“

“Ucapan dan kesanggupan seorang pendeta takkan diingkari lagi !“ Dharmamulya memperingatkan

“Tentu, tentu, hukuman apakah yang henak dijatuhkan ? “

“Penggal kepala atau kubur hidup-hidup ! Nah, engkau pilihlah !“

“Maha Wiku, mengapa sekeras itu ? “ tiba-tiba Sang Prabu Samaratungga berkata mencela.

Akan tetapi dengan masih tersenyum, Panembahan Bayumurti berkata lantang,
“Dharmamulya, aku tahu bahwa hatimu penuh nafsu dan dendam. Aku tidak mengakui bahwa Indrayana mencuri patung, akan tetapi aku akui bahwa Dutaprayoga telah berani melawanmu untuk membelaku. Maka biarlah kupilih kubur hidup-hidup untuk menebus dosa Dutaprayoga !“

Maha Raja Samaratungga terkejut sekali dan hendak mencegah hal ini, akan tetapi baru saja ia hendak bicara, ia melihat betapa Panembahan Bayumurti memandangnya dengan mata bersinar dan bibir tersenyum seakan-akan memberi tanda agar Sang Prabu jangan merasa gelisah dan khawatir.

“Maha Wiku Dharmamulya, sebelum aku menjalani hukuman yang hendak kau jatuhkan, aku minta agar supaya Dutaprayoga dibebaskan dulu dan dapat bertemu muka dengan aku. “

Setelah Maha Wiku Dharmamulya minta perkenan Maha Raja Samaratungga, maka pendeta Mataram yang berani dan aneh itu digiring ke luar. Panembahan Bayumurti benar-benar kelihatan tenang dan gembira dan ketika Wiku Dutaprayoga dikeluarkan dari tahanan dan memandangnya dengan heran, ia lalu menghampiri bekas sahabatnya itu, dan setelah mereka berada berdua saja, ia berbisik.

“Dutaprayoga, engkau tentu maklum pula bahwa yang kulakukan ini semata-mata untuk kebaikanmu. Puteramu selamat, dan engkau menghendaki agar kesemuanya ini berjalan lancar dan beres, engkau pergilah ke tempat pertapaan kita di Gunung Kidul dan kelak aku akan menyusulmu kesana.“

Dutaprayoga maklum akan kesaktian bekas sahabatnya ini dan maklum pula bahwa biarpun Bayumurti usianya masih lebih muda daripadanya, namun dalam segala hal, Bayumurti memperlihatkan kelebihannya. Bahkan ayahnya sendiri, Sang Panembahan Ekalaya, selalu memuji keberaniannya, kesaktiannya, dan kegagahan pertapa Bayumurti.

Setelah Dutaprayoga pergi meninggalkan Kerajaan Syailendra, Panembahan Bayumurti lalu dimasukkan ke dalam tahanan, menanti upacara perjalanan hukuman baginya yang akan dilakukan pada malam bulan purnama, dua hari kemudian.

Hukuman yang amat mengerikan, yaitu dikubur hidup-hidup hukuman yang merupakan hukuman adat dan yang sesungguhnya sudah lama tak pernah dilakukan oleh maha Raja Syailendra, akan tetapi kini akan dilakukan oleh Maha Wiku Dharmamulya, seorang pendeta kepala yang diracuni batinnya oleh dengki, iri, dan angkara murka!

**** 08 ****
Banjir Darah di Borobudur







No comments:

Post a Comment