Ads

Thursday, October 19, 2017

Banjir Darah di Borobudur Jilid 10

“Alangkah mulia hati burung platuk itu !“ Balaputera memuji, “Akan tetapi, kalau aku menjadi burung pelatuk, aku tak sudi menolong singa jahat itu. Hanya burung pelatuk yang demikian bodohnya, menolong si jahat dengan bahaya maut mengancam nyawa sendiri. Seorang bijaksana tak dapat berlaku sebodoh itu !“

Pramodawardani mengerutkan keningnya yang berkulit halus kemerahan itu. Kemudian menggelengkan kepalanya dan berkata halus,

“kau keliru Balaputera. Budi luhur lebih berharga daripada keselamatan tubuh sendiri, karena budi itu ada hubungannya dengan jiwa. Budi tak dapat sirna, sedangkan tubuh pasti akan musnah. Budi dan jiwa selalu ada dan takkan sirna slamanya, adikku, karena itulah maka Sang Bijaksana Buddha telah memberi banyak sekali contoh-contoh pelajaran. Jangan kau kira bahwa hanya binatang seperti burung platuk saja yang mau mengorbankan nyawa untuk menolong sesama hidup. Pernahkan kau mendengar cerita tentang Raja kaum Syibi ?“

Balaputera menggelengkan kepala dan kembali timbul kegembiraannya karena ayunda akan bercerita lagi.

“Pada suatu hari, seekor burung dara putih yang dikejar-kejar oleh seekor burung rajawali, terbang dan mencari perlindungan di atas pangkuan Raja Kaum Syibi. Dara putih itu dengan suara pilu dan ketakutan minta pertolongan Raja dari pengejaran burung rajawali yang sedang kelaparan dan hendak menjadikan burung dara itu sebagai mangsanya. Maka datanglah burung rajawali itu terbang dengan gagah dan dasyatnya, turun di depan Raja dan menuntut dikembalikannya burung dara yang mendekam dengan tubuh gemetar di atas pangkuan raja. “

“Mengapa Raja itu tidak mengambil gendewa dan menahan saja burung Rajawali yang jahat itu?“ Balaputera mencela.

“Tidak, adikku, Raja itu amat bijaksana dan ia tahu memang burung rajawali itu hanya makan daging dari burung-burung lainnya yang kecil-kecil seperti halnya singa tadi. Raja hendak mengganti ketagihan rajawali dengan daging yang lebih banyak dan lebih besar, akan tetapi rajawali tetap menolak. Bahkan ia lalu menuduh, kepada Raja itu berlaku tidak adil dan berat sebelah. Katanya bahwa raja hendak menolong burung dara dari bahaya maut akan tetapi sebaliknya hendak membuat si rajawali mati kelaparan dan hendak mengingkari apa yang telah menjadi hak dari si rajawali itu. Raja menyatakan bahwa ia telah berjanji hendak menolong burung dara itu dari bahaya maut dan bahwa sebagai seorang yang menjunjung tinggi janji sendiri, Raja itu akan suka berkorban apa saja untuk menepati janjinya. Burung rajawali lalu minta agar supaya Raja mengganti burung dara itu dengan daging Raja itu sendiri, sebanyak dan seberat burung dara itu. “

“Permintaan yang bukan-bukan dan gila ! “ seru Balaputera.

“Tidak, adikku. Burung Rajawali itu adalah penjelmaan Dewata yang hendak menguji kesucian hati Raja kaum Syibi itu. Ketika Raja mendengar permintaan ini, tanpa ragu-ragu sedikitpun ia lalu mencabut pedangnya dan mengiris dagingnya sendiri pada betisnya sebanyak dan seberat burung dara itu dan memberikannya kepada burung Rajawali ! “

Mendengar ini, Balaputera sampai melongo saking kagumnya terhadap kemuliaan hari Raja kaum Syibi itu,

“Demikianlah, Balaputera. Agama kita telah memberi contoh-contoh dan pelajaran yang jelas tentang sifat welas asih. Kalau engkau melihat seorang berada dalam bahaya maut dan terancam keselamatannya, apakah yang harus kau lakukan sesuai dengan ajaran kita ?“

Karena semangatnya telah dibakar oleh dua buah cerita tadi, anak kecil itu menjawab dengan gagah,

“Aku akan menolongnya ! “






“Betulkah ? Sungguhpun engkau sendiri akan terancam bahaya usahamu menolong itu? “

“Tentu saja aku berani menghadapi segala macam bahaya, seperti burung pelatuk itu dan aku berani berkorban seperti Raja Kaum Syibi itu ! “ kata pula Balaputera dengan gagahnya.

Pramodawardani memeluk adiknya dan menciuminya.
“Adikku sayang, tidak perlu engkau mengorbankan sesuatu dan tak perlu engkau menghadapi bahaya. Akan tetapi kalau engkau memang mau dan sanggup, sekarang juga engkau akan dapat menolong nyawa dan keselamatan seorang yang terancam hebat. “

Balaputera memandang kepada kakaknya dengan matanya yang bening dan lebar, mata seorang anak-anak yang masih bersih batinnya.

“Apakah maksudmu ayunda ? “

“Balaputera, engkau tentu sudah mendengar bahwa seorang pendeta Mataram hendak diberi hukuman kubur hidup-hidup ? Alangkah ngerinya ! Apakah engkau tidak kasian mengenangkan nasibnya ? Sungguh lebih menyedihkan dari pada nasib singa buas dan burung dara itu. Engkau akan menjadi seorang anak yang baik kalau dapat dan mau menolongnya. “

“Akan tetapi, ayunda. Bukankah dia itu musuh kita ? Dia seorang pendeta Mataram, seorang kapir……. “

“sst…, jangan berkata demikian, Balaputera, adikku. Betapapun juga, dia seorang manusia seperti kita. Apalagi dia seorang pendeta dan ahli pembuat patung, kita harus menolongnya. “

“Akan tetapi, dia sudah dijatuhi hukuman.“

“Bukan ayah yang menghukumnya, akan tetapi Maha Wiku Dharmamulya ! Bayangkan, adikku yang budiman, pendeta tua yang lemah dan ramah tamah itu, pendeta pandai yang bertangan halus, yang dapat membuat patung yang indah-indah, ia akan dikubur hidup-hidup. Bayangkan betapa sengsaranya, dimasukkan lobang di dalam tanah, lalu ditimbuni tanah, tak dapat bernapas, gelap, pengap…… ah, alangkah ngeri dan sengsaranya…… “

“Aku mau menolong dia ! “ tiba-tiba Balaputera berkata gagah dan cepat. “Akan tetapi, bagaimana caranya, ayunda ? “

Pramodawardani memeluk adiknya dengan hati girang.
“Ah, kau memang seorang yang berhati mulia, kau calon manusia besar ! Dengarlah, adikku sayang, kalau aku bukan seorang wanita, tentu aku akan bertindak sendiri, takkan menyusahkan engkau yang kecil. Aku takkan dapat leluasa bergerak diluar keraton. Akan tetapi kau bisa, kau mudah saja bermain-main di luar keraton. Dan mempunyai banyak kawan-kawan, anak-anak lelaki kecil yang suka kau ajak bermain-main di lapangan. Kau lebih bebas. Dengarlah baik-baik. Malam nanti tepat pada tengah malam, di kala bulan purnama telah berada di atas kepala kita. Panembahan Bayumurti akan dikubur hidup-hidup di sebelah barat alun-alun. Kau dan kawan-kawanmu setelah semua orang yang melakukan hukuman keji itu pergi, pergilah ketempat pendeta itu dikubur, kau suruhlah kawan-kawanmu menggali kuburan itu dan kau bebaskan pertapa yang malang itu ! Dengan demikian kau akan menolong nyawa seorang suci, adikku ! “

“Bagaimana kalau ayah mengetahui hal ini ? “

“Jangan takut ayah takkan marah. Kalau seandainya ayah marah akulah yang akan bertanggungjawab. Aku akan mengakui bahwa kau hanya bertindak atas suruhan dan bujukanku. Biarlah ayah marah kepadaku. “

“Ayah tak pernah marah kepadamu, ayunda. Ayah amat sayang kepadamu.“

“Karena itu, jangan kau takut kalau seandainya ayah mengetahui perbuatanmu ini. Betapapun juga usaha kita ini adalah usaha baik yang keluar dari hati nurani kita. Usaha menolong nyawa seseorang . “

“Kalau sampai Maha Wiku Dharmamulya mengetahuinya ? “

“Biarkan saja ! Ia akan berani berbuat apakah terhadap kita ? “

“Baiklah, ayunda Pramodawardani. Akan tetapi……. Bagaimanakah dengan Indrayana itu ? “

Pramodawardani memandang kepada adiknya dengan mata terbelalak lebar.
“Apa maksudmu ? “

Balaputera tersenyum mengoda.
“Ayunda, aku telah mendengar bahwa pemuda elok itu…… bahwa ia mencintaimu dan mencuri patungmu, bukan ? “

“Bedebah benar orang yang menceritakan hal itu kepadamu ! “ Sang Puteri mamaki marah,

“Ssst…, ayunda. Tak baik memaki dan menyumpah orang ! “

Merahlah wajah Pramodawardani.
“Orang itu…… Indrayana itu, Orang kurang ajar yang tidak ada hubungannya dengan persoalan ini. “

“Sayang, aku selalu suka kepada Indrayana. Semua kawanku menyatakan bahwa Indrayana amat gagah perkasa. Pernah dengan tangan kosong ia menangkap dan merobohkan seekor kerbau yang gila dan mengamuk ! Sayang sekali, ayunda, aku suka kepadanya. Sayang engkau tidak suka kepada orang gagah perkasa itu. “

“Siapa bilang tidak suka ……. ! “

“Jadi engkau suka kepadanya ? “ Balaputera berseri.

“Kalau aku berkata bahwa aku bukannya ridak suka kepadanya, ini bukan berarti pula bahwa aku suka ! “

“bukan tidak suka, dan juga bukan suka ! Aneh sekali, habis apakah perasaanmu terhadapnya, ayunda yang manis ? Apa engkau tidak senang melihat Indrayana yang tampan dan gagah itu ? “

“Memang ia tampan dan gagah, “ kata Pramodawardani terus terang

“Apakah engkau tidak kagum melihat keberanian dan ketangkasannya ? “

“Mungkin ia berani dan tangkas. “

“Nah, mengapa tidak suka dan juga bukan membenci ? “

“Sudahlah, cukup engkau ketahui bahwa dia adalah seorang yang kuang ajar ! Aku tidak senang melihat orang berlaku kurang ajar ! Cukuplah tentang Indrayana, sekarang baik engkau bersiap dan mengumpulkan kawan-kawanmu. Hari telah mulai gelap ! “

Demikian, pada malam hari itu, menjelang tengah malam, di waktu bulan sedang bulat-bulatnya, terjadilah pelaksanaan hukuman yang amat kejam itu. Panembahan Bayumurti dikubur hidup-hidup di sebuah lobang yang dalam, kemudian ditimbuni tanah.

Yang melaksanakan hukuman ini adalah algojo-algojo yang memang bertugas melaksanakan hukuman-hukuman mati. Upacara hukuman dikepalai oleh Maha Wiku Dharmamulya sendiri, bersama beberapa orang wiku pembantunya. Sesunggunya, hal ini tidak disetujui oleh pendeta Hindu Wisananda, pembantu Maha Wiku Dharmamulya, akan tetapi Maha Wiku itu tidak perduli, hanya berkata,

“Sahabat Wisananda, mungkin hal ini agak ganjil bagimu. Akan tetapi ingat, kebiasaan di negerimu tidak sama dengan kebiasaaan di negeriku ! Hukuman ini penting sekali, untuk menyatakan kepada semua orang Mataram bahwa kita tak boleh dipermainkan begitu saja. “

Maka dikuburlah Panembahan Bayumurti dan anehnya, selama dilakukan upacara, pendeta itu hanya tersenyum-senyum dan wajahnya berseri-seri, sama sekali tidak kelihatan seperti orang yang sedang menjalankan hukuman mati, bahkan seakan-akan seorang mempelai laki-laki yang sedang bersiap untuk menyambut mempelai wanita tak lama lagi !

Pemandangan pada malam hari itu amat menyeramkan. Bayangan Maha Wiku Dharmamulya yang berkepala gundul itu bagaikan bayangan seorang iblis sendiri tengah tersenyum-senyum menikmati kemenangannya. Hati para wiku lain merasa tidak enak dan di dalam lubuk hatinya, setiap orang wiku tidak menyetujui hukuman ini.

Akan tetapi tak seorangpun diantara mereka yang berani membantah pendeta kepala itu. Tentu saja Maha Wiku Dharmamulya yang sedang kemasukan bisikan setan-setan nafsu angkara murka dan dendam itu tidak merasai kesalahan sendiri. Jangankan seorang manusia, seorang dewapun agaknya sukar untuk dapat menginsyafi kesalahan diri sendiri !

Diam-diam ia bahkan merasa bahwa sebagai pendeta kepala ia telah bertindak benar, telah dapat meninggikan agamanya, dapat membasmi seorang musuh agamannya, seorang kapir yang menghina Agama Buddha Didalam dirinya. Maha Wiku Dharmamulya merasa bahwa ia telah berjasa besar !

Bulan purnama agaknya merasa segan menyaksikan pemandangan yang mengerikan itu, menyaksikan seorang dikubur hidup-hidup, maka tiba-tiba bulan bersembunyi di balik segumpal awan, membuat permukaan dunia yang tadinya terang benderang menjadi gelap. Hal ini mendatangkan perasaan lebih tak enak lalu mendesak kepada Maha Wiku Daharmamulya untuk meninggalkan tempat hukuman itu.

Karena menganggap bahwa upacara itu telah beres, Maha Wiku Dharmamulya lalu memesan kepada tiga orang algojo untuk menjaga di tempat itu sampai fajar, sedangkan ia sendiri bersama semua wiku pergi meninggalkan tempat itu. Ketiga orang petugas algojo itu adalah orang-orang kasar yang bodoh dan masih tebal kepercayaan mereka akan segala hal tahyul.

“Kakang Dentalaya,“ kata seorang diantara mereka kepada pemimpin mereka, “Untuk apakah kita menjaga disini ? Dingin dan tidak enak, lagi gelap “

“Benar, pekerjaan kita kali ini sungguh tidak menyedapkan hati. Lebih senang kalau disuruh memenggal leher seorang hukuman. Sekali penggal dengan klewang beres ! “ berkata orang ke dua.

Pada saat itu, karena merasa kecewa melihat bulan menyembunyikan diri, seekor burung hantu memekik nyaring sehingga ketika seorang algojo yang dapat melihat darah menyembur dari leher korban dengan senyum di bibir tiba-tiba menggigil dengan hati berdebar-debar tak tenang.

“Kalian benar. “ kata Dentalaya. “ akupun merasa tidak enak kalau teringat akan wajah pendeta Bayumurti yang ramah tamah dan tersenyum-senyum menghadapi kematiannya itu. Biasanya orang yang akan menjalani hukuman mati tidak sedemikian itu mukanya. Aku lebih suka kalau melihat dia melolong-lolong minta ampun. Mari kita pergi saja dari sini, siapa tahu kalau-kalau pendeta ini adalah murid seorang iblis yang akan datang mengamuk dan membalas dendam kepada kita ! “

Ucapan kepala mereka ini mendatangkan dorongan yang membuat ketiganya lalu pergi dari situ dengan langkah ringan dan cepat seakan-akan di belakang mereka telah mengejar seorang iblis yang menakutkan !

Kalau saja algojo-algojo yang berhati kejam akan tetapi penakut itu berani menengok lagi, tentu lari mereka akan lebih cepat lagi oleh karena seperti dugaan mereka, benar-benar telah muncul bayangan-bayangan pendek kecil dari belakang pohon-pohon. Bayangan-bayangan kecil ini tanpa banyak cakap lalu mengerjakan pacul yang mereka bawa untuk menggali kembali kuburan yang memendam tubuh Panembahan Bayumurti. Tentu para algojo itu akan menyangka bahwa bayangan-bayangan ini adalah setan-setan cebol atau bujang-bujang keplek yang menakutkan.

Padahal sesungguhnya, mereka ini adalah anak-anak kecil yang dipimpim oleh Pangeran Balaputera dewa yang mentaati permintaan ayundanya ! Tak lama kemudian, terbongkarlah tanah kuburan yang sudah dipaculi itu dan alangkah herannya anak-anak itu ketika melihat bahwa tubuh yang dipendam itu sama sekali tidak mati, bahkan ketika kuburan telah terbongkar, mereka melihat tubuh Panembahan Bayumurti sedang enak duduk bersila dan kini memandang kepada mereka dengan mulut tersenyum.

Kalau saja anak-anak itu tidak membongkar kuburan, agaknya pendeta inipun dapat keluar sendiri. Memang Panembahan bayumurti adalah seorang sidik dan sakti mandraguna, yang mempunyai aji dan kepandaian luar biasa sehingga ia takkan mati kalau hanya menghentikan jalan pernapasan untuk beberapa lama saja. Kepandaiannya terlalu tinggi untuk dapat mati dikubur hidup-hidup. Oleh karena itu maka ia sengaja memilih hukuman itu.

“Anak-anak yang baik ! “ kata pendeta itu setelah anak-anak itu hilang rasa kagetnya. “Kalianlah yang akan menjadi pendeta-pendeta utama dari Agama Buddha. Di bawah pimpinan Pangeran Balaputera Dewa, kalian akan membikin jaya kerajaan yang beragama Buddha !“

Setelah berkata demikian, sekali tubuh itu bergerak lenyaplah pendeta itu dari pandangan Balaputera dan kawan-kawannya. Tentu saja anak-anak itu menjadi ketakutan dan segera melarikan diri cerai-berai.

Balaputera segera mendapatkan ayunda dan menceritakan pengalamannya. Pramodawardani menghela napas panjang dan berkata perlahan,

“Sudah kuduga, adikku. Pendeta itu bukanlah orang sembarangan dan perbuatan Maha Wiku Dharmamulya sungguh memalukan kita ! Jangan kau ceritakan peristiwa itu kepada orang lain, adikku yang baik ! “ Sang Puteri Pramodawardani tidak tahu bahwa adiknya tidak menceritakan semuanya.

Bahkan kepadanya sendiri, Balaputera tidak menceritakan tentang kata-kata Pendeta Bayumurti tadi tentang kerajaan beragama Buddha yang kelak berada di bawah pimpinanya. Balaputera masih kanak-kanak. Usianya masih sebelas tahun, namun anak ini memang memiliki kecerdikan luar biasa. Ia maklum bahwa sebagai puteri sulung, kakaknya lebih berhak atas mahkota ayahandanya, maka tidak pada tempatnya dan kurang enaklah kalau ia menceritakan tentang ramalan Panembahan Bayumurti bahwa kelak ia yang akan membikin jaya kerajaan beragama Buddha.

Tentu saja anak ini tidak sekali-kali menyangka bahwa ramalan pendeta sakti itu memang cocok, akan tetapi kerajaan beragama Buddha bukanlah Kerajaan Syailendra di Pulau Jawa, akan tetapi Kerajaan Sriwijaya di seberang.

**** 10 ****
Banjir Darah di Borobudur







No comments:

Post a Comment