Ads

Saturday, October 21, 2017

Banjir Darah di Borobudur Jilid 22

Sambil berkata demikian, Indrayana memutar patungnya, dihadapkan kepada Candra Dewi. Gadis itu cepat memandang dan…… sukarlah memilih mana orang mana patung pada saat itu karena Candra Dewi berdiri diam tak bergerak, tak berkedip, bahkan napasnya seakan-akan terhenti, serupa benar dengan patung di depan itu! Di depan Indrayana, seakan-akan kini berdiri dua buah patung kembar indah! Lambat laun, sebuah dari pada patung itu bergerak, dadanya naik turun dan bibirnya bergerak, Candra Dewi berkata tanpa memalingkan mukanya dari patung itu.

“Mengapa…… bukan…… Puteri Pramodawardani …… ? “

Tadinya Indrayana merasa takut kalau-kalau gadis itu akan marah, akan tetapi mendengar suaranya yang lemah lembut dan sama sekali tidak marah itu, hatinya menjadi lega dan tabah kembali, sungguhpun rasa jengah masih membuat ia menundukkan muka tanpa berani memandang gadis itu.

“Jeng Dewi, kau sendiri yang memberi petunjuk agar aku mengukir patung ini menurut contoh wajah seorang yang paling mudah kuingat, seorang yang paling mudah di hatiku…… yang ku kasihi dengan sepenuh jiwaku. Telah kucoba membuat patung Pramodawardani, namun gagal, karena…… sesungguhnya…… bukan dialah yang selama ini memenuhi hati dan pikiranku. Aku hanya melakukan cara-cara yang telah kau ajarkan kepadaku dan…… inilah hasilnya, diajeng. Aku membuat patung orang yang kukasihi, kusayangi, orang yang paling kucinta…… “

Tidak menanti sampai habisnya ucapan Indrayana itu, tiba-tiba Candra Dewi menengok menatap wajahnya dan ketika dua pasang mata itu bertemu, terdengar isak tertahan dan Candra Dewi lalu berlari pergi dari situ sambil terisak-isak menangis !

Indrayana mengangkat muka terkejut, lalu dengan lompatan jauh ia mengejar, memegang lengan kanan Candra Dewi dan berkata dengan suara penuh perasaan duka dan pernyataan maaf.

“Aduh, diajeng……. Maafkanlah aku tidak bermaksud menyinggung hatimu, aku tidak bermaksud menghinamu, diajeng. Sungguh, demi kehormatanku sebagai seorang ksatriya, demi semua Dewata Yang Maha Agung, aku bersumpah bahwa semua kelakuan dan ucapanku keluar dari hati yang suci murni, sama sekali tidak ada maksud hati untuk merendahkanmu. Aku tahu bahwa amat lancang, jeng Dewi, Orang seperti aku tidak patut dan tidak berharga untuk menyatakan perasaan hatiku terhadap kau yang agung dan mulia…… akan tetapi, apa dayaku, diajeng…… Kau sudi memaafkan aku, bukan? Kalau kau kehendaki, aku bersumpah takkan berani berlaku seperti tadi lagi ! “

Candra Dewi memandang muka pemuda itu dengan air mata masih membasahi pipinya, akan tetapi amat heranlah hati Indrayana ketika melihat bahwa biarpun mata gadis itu menangis, namun bibirnya tersenyum. Tersenyum manis seperti patung itu.

“Bodoh……“ bisik dara itu, “aku menangis karena bahagia, masih belum terbukakah matamu…… ? “

Kini Indrayana yang melenggong dan berdiri bagaikan patung batu, menatap wajah Candra Dewi seakan-akan berada di dalam mimpi. Melihat pandang mata seperti itu, Candra Dewi melengoskan mukanya dan menarik tangannya.

“Lepaskan aku…… ! “ bisikinya dan hendak lari.

Akan tetapi kedua lengan tangan Indrayana lebih cepat lagi, pinggangnya yang ramping itu tertangkap dan sesaat kemudian ia telah berada dalam pelukan Indrayana. Sambil memejamkan kedua matanya, Candra Dewi menyandarkan kepalanya di atas dada kekasihnya, mendengarkan bisikan cumbu rayu dari bibir Indrayana .






Bagi sepasang kekasih yang sedang berbisik-bisik memadu kasih. Waktu berlalu amat cepatnya tanpa terasa sedikitpun juga. Demikian pula dengan Indrayana dan Candra Dewi. Serasa baru beberapa patah kata saja keluar dari bibir masing-masing dan seakan-akan baru saja mereka duduk bersanding di atas akar pohon, akan tetapi tahu-tahu malam telah tiba dan bulan mulai muncul. Namun belum juga mereka sadar dan masih tenggelam dalam buaian ombak samudera asmara yang memabokkan.

Memang aneh kalau orang sedang dimabok asmara. Bulan purnama serasa suram dan tidak bercahaya apabila segala bunyi-bunyian dan gamelan, seakan-akan lagu dari surga. Memang luar biasa sakti Dewa Asmara, dan bukan main ampuhnya anak panah dan gendewanya.

Tidak ada seorangpun manusia di dunia ini, bahkan tiada dewata sekalipun, yang kebal menghadapi senjatanya. Akan tiba saatnya setiap orang manusia atau dewata terkena hikmatnya dan terpaksa mengakui kekuasaan dan keunggulan Sang Dewa Asmara. Indrayana dan Candra Dewi baru sadar ketika tiba-tiba mereka mendengar suara ombak bertembang.

“Kakangmas Pancapana…… “ bisik Indrayana sambil melepaskan tangan Candra Dewi yang dari tadi dipegangnya.

“Ah, lebih baik aku pergi dulu, tentu kita akan di ejek habis-habisan dan diperoloknya kalau ia melihat kita disini.“

Setelah berkata demikian, Canda Dewi bangkit dan segera melarikan diri dari situ dengan lagkah ringan.

Indrayana memandang bayangan kekasihnya dengan hati bungah. Ia tadi telah mendengar dari Candra Dewi bahwa Pancapana yang menjadi biang keladi dari semua ini. Pangeran itu telah melihat ia membuat patung Candra Dewi dan sengaja membohongi gadis itu agar gadis itu melihat sendiri betapa Indrayana membuat patungnya.

Nakal, akan tetapi juga amat baik hati. Indrayana tidak tahu apakah ia harus menegur ataukah menyatakan terima kasih, atas perbuatan Pancapana tadi. Ketika Indrayana keluar dari balik pohon dan menjumpai Pancapana yang sedang berjalan seorang diri sambil nembang itu, Pancapana menghentikan tindakan kaki dan tembangnya.

“Eh, eh, dimas Indrayana!“ katanya sambil tersenyum dan membelalakkan matanya. “Teja bersinar indah melingkungi tubuhmu, tanda bahwa engkau telah bertemu dengan kebahagiaan dan mendapat berkah Dewata Yang Agung! Kebahagiaan apakah gerangan, dimas ? Bagilah sedikit kepadaku. “

“Kakangmas Pancapana, kau memang pandai menggoda orang, “ jawab Indrayana.

“Tetapi tidak berbahaya, dimas godaanku tidak berbahaya, tidak seperti godaanmu! Hampir saja membuat Candra Dewi adikku itu patah hati! Jangan menggodanya sampai keterlaluan, dimas, ingat, dia adikku. Kalau sampai patah hati dan berduka, aku bisa marah kepadamu ! “

Merahlah muka Indrayana dan sambil tersenyum malu ia berkata.
“Terima kasih, kangmas. Berkat campur tanganmu, sekarang semua telah menjadi baik. “

Pancapana mengangguk-angguk sambil tersenyum
“Bagus, bagus!! Hatiku sudah gelisah melihat Candra Dewi menangis di ladang tadi, menangis dengan hati penuh cemburu kepada Puteri Mahkota dari Syailendra. Eh, dimas, sesungguhnya bagaimanakah rupanya Puteri Pramodawardani? Benar-benar cantik jelita seperti yang disohorkan orangkah ? “

“Cantik jelita!“ kata Indrayana dengan bangga. “Sungguhpun bagiku diajeng Candra Dewi lebih cantik, akan tetapi mencari seorang puteri dikolong langit ini yang cantiknya dapat menandingi Puteri Pramodawardani, agaknya tak mungkin dapat ! “

Pancapana lalu duduk di atas sebuah batu, memberi isarat kepada Indrayana untuk duduk pula.

“Dimas, kau tadi mengucapkan terima kasih kepadaku adakah ucapan itu tulus iklas dan keluar dari hati sanubarimu ? “

“Tentu saja, kangmas. Tanpa reka dayamu itu, agaknya diajeng Candra Dewi akan selalu marah dan benci kepadaku. “

“Kalau kau benar-benar berterima kasih, sekarang kau harus membalas jasaku itu dengan cerita tentang diri Puteri Pramodawardani! Ceritakanlah tentang keadaan kerajaannya, tentang keluarganya, tentang puteri itu sendiri, bagaimana cantiknya, betapa manisnya kalau tersenyum, bagaimana lagaknya kalau berkata-kata. “

Demikian, kedua orang pemuda itu bercakap-cakap di bawah sinar bulan. Indrayana menceritakan keadaan Syailendra, dan terutama sekali ketika menceritakan dan memuji-muji kecantikan Pramodawardani diceritakannya dengan cara yang menarik, dengan sejelasnya sehingga Pancapana yang mendengar merasa seakan-akan Puteri Pramodawardani itu telah berdiri di hadapannya ! Sudah tentu saja Indrayana banyak membohong dan hanya mengira-ngira saja dalam hal ini, oleh karena iapun baru satu kali saja bertemu muka dengan puteri itu !

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali di kala ayam hutan masih belum berhenti berkokok saling sahut-sahutan, seperti biasa Sang Panembahan Ekalaya telah duduk bersila di atas batu hitam yang bentuknya bulat dan ketiga orang muridnya duduk pula bersila di atas tanah di hadapannya.

Kebiasaannya ini telah dilakukan semenjak mereka naik ke Muria. Pada waktu fajar itulah mereka menerima pelajaran-pelajaran ilmu-ilmu kebatinan yang tinggi dari pertapa sakti itu. Ada kalanya Sang Panembahan memanggil seorang diantara mereka pada siang atau senja hari untuk memberi pelajaran khusus. Akan tetapi, setiap pagi mereka bertiga tentu menghadap dan mendengar wejangan-wejangan dari guru mereka ini. Hampir setiap pagi, Sang Panembahan Ekalaya menutup wejangan-wejangannya dengan kata-kata,

“Sekarang pergilah bekerja, anak-anak! Bekerjalah dengan hati riang dan laksanakanlah segala pitutur yang kau dengar dan pelajari di dalam perbuatan, karena pokok pangkal dan segala ilmu di dunia ini terletak pada perbuatan yang nyata. Pengetahuan memerlukan pengertian, pengertian membutuhkan kesadaran, dan kesemuannya itu masih membutuhkan pula kenyataan. Apakah artinya tahu kalau tidak mengerti, mengerti tidak sadar? Dan apa pula artinya kesemuannya itu apabila ilmu yang dipelajarinya itu hanya merupakan pengetahuan kosong tanpa dilaksanakan dalam perbuatan? Ingatlah selalu bahwa ilmu barulah dapat disebut sempurna apabila di dalam pelaksanaannya dapat mendatangkan manfaat bagi kemanusiaan. “

Akan tetapi, pada pagi hari itu, ucapan yang selalu ditekankan ke dalam hati murid-muridnya setiap pagi ini masih ditambah lagi dengan ucapan yang mendatangkan debar pada jantung ketiga orang muda itu.

“Indrayana, Candra Dewi, dan kau juga Pangeran Pancapana!“ Sang Panembahan selalu menyebut Pancapana dengan Pangeran, “Hari ini adalah hari terakhir dari kediamanmu sekalian di atas puncak gunung ini. Oleh karena itu, tak usah kalian melakukan pekerjaan seperti biasa dan duduklah saja disini bersamaku. Masih ada beberapa pelajaran yang perlu kalian ketahui dan pelajari dengan baik. “

Sudah menjadi kebiasaan bagi orang-orang muda itu untuk mendengar ucapan-ucapan yang penuh rahasia dari guru mereka dan mereka maklum bahwa tak boleh mereka menanyakan sesuatu yang tidak dibuka atau diberi tahu oleh gurunya. Oleh karena itu, sungguhpun hati mereka ingin sekali bertanya tentang hari terakhir dari kediaman mereka disitu, namun mereka tak berani membuka mulut sebelum Sang Panembahan menerangkan sendiri. Pernah satu kali Candra Dewi bertanya tentang sesuatu hal yang belum dijelaskan, dan dara itu mendapat teguran dari Panembahan Ekalaya.

"Berlakulah tenang dan sabar serta terimalah segala peristiwa yang terjadi dengan waspada, jangan sekali-kali kau ingin mengetahui lebih dalam tentang peristiwa yang belum terjadi. Memandang peristiwa yang terjadi kemarin sebagai sebuah pelajaran, menghadapi peristiwa hari ini dengan penuh kewaspadaan, dan menanti datangnya peristiwa esok hari dengan penuh ketenangan dan kesabaran. Itulah sifat seorang ksatria utama! Menjenguk peristiwa yang belum terjadi, selain dapat melemahkan iman, juga merupakan perbuatan yang curang dan pengecut. Curang terhadap kekuasaan nasib dan karenanya kesiku (melanggar pantangan) Dewata Agung, dan pengecut terhadap diri pribadi, tanda bahwa dia takut, khawatir akan datangnya kepahitan dalam kehidupannya."

Semenjak pertapa itu menyatakan demikian, maka ketiga orang muridnya tak pernah lagi berani bertanya tentang peristiwa yang akan datang. Mereka maklum akan kesaktian gurunya, bahwa pertapa yang menjadi gurunya itu waspada dan tahu akan hal-hal yang belum terjadi. Maka, mereka juga tidak bertanya tentang pernyataan bahwa hari itu adalah hari terakhir bagi mereka berada di tempat itu. Dengan tenang dan sabar mereka hanya mendengarkan wejangan-wejangan gurunya dan menanti sampai pertapa itu memberi penjelasan.

Dan penjelasan itu datang ketika matahari telah mulai muncul di balik puncak, bersama dengan datangnya dua orang laki-laki tua yang mendaki gunung itu dengan gerakan cepat. Setelah tiba disitu, keduanya lalu menjatuhkan diri brlutut dan menyembah kepada Panembahan Ekalaya.

"Hm, sukurlah kalian telah datang. Sudah lama kutunggu-tunggu kedatangan kalian," kata pendeta itu dengan suaranya yang halus.

Bukan main heran, terkejut dan juga girang hati ketiga orang muda itu, karena yang datang itu bukan lain adalah Panembahan Bayumurti dan Wiku Dutaprayoga! Candra Dewi segera menghampiri dan memeluk ayahnya dengan sikap manja dua titik air mata membasahi pipi dara itu.

"Aku girang sekali melihat kau sehat dan segar, Candra!" kata Bayumurti sambil mengelus-elus rambut putrinya.

Sementara itu, Indrayana lalu maju dan berlutut di depan ayahnya.
"Ramanda, anakmu yang bodoh menerima segala hukuman yang hendak ayah jatuhkan kepadaku."

“Tidak ada yang dipersalahkan, Indrayana. Yang sudah terjadi merupakan pengalaman dan pelajaran bagi kita. Aku girang kau telah dapat menerima ajaran-ajaran dari eyangmu."

Seperti telah dituturkan di bagian depan, Panembahan Bayumurti dengan cara yang amat mengagumkan dan gagah, menggantikan Sang Wiku Dutaprayoga untuk menjalani hukuman mati, kemudian dengan "pertolongan" Pangeran Balaputra Dewa sendiri beserta kawan-kawannya atas suruhan Pramodawardani, Panembahan Bayumurti keluar dari dalam lobang kuburan dimana ia dipendam hidup hidup.

Banjir Darah di Borobudur







No comments:

Post a Comment