Ads

Monday, October 30, 2017

Jaka Galing Jilid 06

“Yayi Dewi, sebenarnya kedatanganku ini hendak minta pertimbanganmu. Sebagaimana kau ketahuai, telah berbulan-bulan aku tidak pergi menghadap ke Majapahit.”

“Mengapa kanda tidak pergi menghadap rama prabu?” tegur Dewi Cahyaningsih yang tidak menyangka sesuatu.

Gendrosakti menghela napas.
“Kau tahu, yayi, pekerjaan disisni amat banyak dan aku……. Tak punya waktu untuk pergi-pergi jauh. Memang, kalau terlalu lama tidak menghadap, aku takut kalau-kalu rama prabu marah. Oleh karena itu, malam tadi aku mgambil keputusan untuk minta bantuanmu, yayi. Kau telah lama tidak bertemu dengan keluargamu di Majapahit, maka sekalian kau tengok nereka, kau wakililah aku menghadap rama prabu, menuturkan keadaan di Tandes yang tidak ada halangan suatupun apa.”

Memang di dalam hatinya, semenjak suaminya tergila-gila kepada Sriti, Dewi Cahyaningsih merasa bosan dan tidak senang tinggal di Tandes, dan sering kali terkenang kepada sanak familinya yang berada di Majapahit. Mendengar usul suaminya ini, ia merasa genbira, lalu menjawab,

“Baiklah, kanda. Kalau kanda adipati memerintahkan begitu, tentu saja saya tak berani membantah.”

“Rama, ijinkanlah saya ikut kalau ibu pergi ke Majapahit.” Puspasari berkata.

Ayahnya mengangguk-angguk,
“Tentu saja boleh, kalian pergilah berdua. Berkemaslah dan sementara itu aku akan memerintahkan pengawal-pengawal yang cakap untuk mengiringi perjalanan kalian, juga menyediakan barang-barang berharga untuk dihaturkan kepada rama prabu.”

Kata Adipati Gendrosakti dengan suara manis, seperti seorang ayah yang baik hati! Dengan gembira sekali Puspasari menari-nari dan lari masuk ke kamarnya sendiri di sebelah kamar ibunya untuk menyiapkan apa yang perlu dibawa dalam perjalanan jauh itu.

Gendrosakti memilih 12 orang perwira yang paling dipercaya dan setelah memberi pesan kepada mereka, lalu disiapkan tandu dan segala keperluan.

Sariti juga hadir dalam keberangkatan ini dan selir cantik jelita ini dengan gaya manis memberi bekal nasihat dan pesan agar mereka yang melakukan perjalanan itu berlaku hati-hati dan dapat menjaga diri di tengah jalan, serta membekali doa-doa selamat bagi ibu dan anak!

Setelah rombongan itu berangkat Gendrosakti menjatuhkan diri di atas kursi di dalam kamar Sariti, dan adipati tua itu termenung dengan muka pucat, betapapun juga hati nuraninya memberontak dan suara hatinya mencaci maki dan mengutuknya, membuatnya termenung dengan hati menyesal.

Akan tetapi, tiba-tiba sebuah lengan yang berkulit halus memeluk lehernya dengan suara merayu-rayu dan belaian-belaian penuh kasih sayang Sariti menghiburnya hingga hati nuraninya kembali tertutup.

Dua belas orang yang dipilih oleh Gendrosakti untuk mengantar anak dan isterinya adalah bekas perampok-perampok jahat dan kejam yang tak pantang mundur menghadapi perbuatan yang bagaimana kejam dan ngerinya.






Mereka ini adalah orang-orang taklukan, bekas pemimpin perampok yang didalam hatinya memang mempunyai sikap dendam dan memberontak terhadap kerajaan Majapahit, hingga mereka memang tepat sekali kalau diperalat oleh Gendrosakti untuk melakukan pembunuhan kejam ini.

Rombongan itu berjalan dengan cepat dan ketika hari telah menjadi senja, mereka masih berada di dalam sebuah hutan yang amat liar dan luas. Memang kedua belas pengawal itu sengaja membawa ibu dan anak itu kedalam hutan ini agar mereka dapat melakukan tugas mereka dengan leluasa.

Setelah tiba di tempat yang mereka anggap cocok untuk melakukan kejahatan itu, tiba-tiba kepala pengawal, seorang tinggi besar bernama Klabangkoro berteriak memerintah agar rombongan itu berhenti.

Delapan orang pelayan pemanggul tandu merasa lega mendengar perintah ini, karena mereka telah merasa lelah sekali. Dengan perlahan mereka menurunkan kedua tandu itu dan menggunakan kain ikat kepala untuk menyeka peluh mereka yang membasahi seluruh tubuh.

Dewi Cahyaningsih dan Puspasari membuka kain renda penutup tandu dan Dewi Cahyaningsih bertanya.

“Hei, pengawal, mengapa berhenti di tengah hutan? Hari sudah menjadi gelap, hayo kita lanjutkan perjalanan mencari tempat penginapan di kampung depan.”

Tapi 12 pengawal itu mendekatinya sambil ketawa menyeringai. Melihat keadaan ini, hati Dewi Cahyaningsih merasa tidak enak, maka ia lalu keluar dari tandunya. Juga Puspasari keluar dari tandunya.

“Kita takkan melanjutkan perjalanan!” kata Klabangkoro sambil mengurut kumisnya.

Kemudian dengan cepat sekali ia mencabut goloknya yang terselip di pinggang dan sekali mengayun senjata itu, dua orang pemanggul tandu roboh mandi darah dan mati disaat itu juga tanpa dapat berteriak lagi!

Alangkah terkejutnya semua pemanggul tandu yang enam orang itu. Tapi kekagetan mereka hanya sebentar, karena pengawal-pengawal lain lalu menggunakan senjata mereka dan sekejap kemudian kedelapan pemanggul tandu itu terbunuh dan tubuh mereka berserakan di atas rumput dalam keadaan yang mengerikan!

Dewi Cahyaningsih dan anak gadisnyq hampir saja pingsan melihat kekejaman dan pembunuhan ini. Mereka saling peluk dan menutup muka sambil menangis dan dengan tubuh menggigil mereka menanti kemungkinan selanjutnya.

“Ha, ha, ha!” terdengar Klabangkoro tertawa tergelak-gelak. “Sayang adipati tidak melihat sendiri hal ini!”

Mendengar ucapan ini, timbul dugaannya yang mengerikan di dalam hati Dewi Cahyaningsih. Dengan hati nekat, ia membuka matanya dan memandang kepada kepala pengawal ini.

“Klabangkoro! Apakah maksudmu maka kalian membunuh para pemikul tandu ini? Siapakah yang akan memanggul tandu kami selanjutnya?”

“Ha, ha,ha! Perempuan bernasib celaka, yang akan memanggul kau hanyalah setan- setan akhirat, karena sebentar lagi kaupun akan mengikuti kedelapan anjing-anjing ini! Ha-ha ! Adapun yang akan memanggul puterimu yang cantik ini, jangan kau khawatir, tanganku masih kuat memondongnya! Betul tidak, kawan-kawan?”

Kawan-kawannya tertawa geli, dan seorang diantara mereka berkata.
“Kakang Klabangkoro, jangan kau habiskan sendiri. Beri aku bagian ! Ha, ha!”

Mendengar ucapan ini, bukan main kaget Dewi Cahyaningsih dan Puspasari.
“Apa? Kau hendak membunuh kami? Mengapa Klabangkoro, mengapa?” tanya Dewi Cahyaningsih dengan suara gemetar, sedangkan Puspasari memeluk ibunya dengan tubuh menggigil ketakutan.

“Jangan kau salah sangka, Wanita! Kami hanya menjalankan perintah Adipati Gendrosakti, siapa lagi yang menyuruh kami membunuhmu kalau bukan suamimu sendiri?”

“Tetapi……… tak mungkin…….. mengapa begitu……” wanita yang bernasib malang itu mengeluh.

"Ha, ha, ha,!" Klabangkoro tertawa. “Mudah saja diterka. Kau sudah tua, suamimu sudah tak suka lagi padamu, sudah mendapat yang baru, yang muda, yang cantik, tidak seperti kau yang sudah kisut. Ha, ha!"

Kini mengertilah Dewi Cahyaningsih. Jadi suaminya sendiri yang merencanakan pembunuhan ini! Tentu diatur bersama dengan perempuan siluman itu. Alangkah kejamnya!

Tiba-tiba wanita tua itu mengangkat dada dan datang keberaniannya.
“Klabangkoro! Kau mau membunuh kami, bunuhlah. Aku tidak takut mati. Tetapi kuminta padamu dan kepada semua kawanmu, kasihanilah anakku si Puspasari. Dia tidak tau apa-apa. Demi perikemanusian dan demi Gusti Yang Maha Agung, bebaskanlah anakku ini. Kalian boleh mengambil semua barang-barang berharga milik kami, boleh bunuh aku, tetapi kalian jangan bunuh anakku ini……” Dewi Cahyaningsih memeluk anaknya yang sudah lemas itu dengan tersedu-sedu.

“Ah, perempuan cerewet! Jangan banyak cakap!” bentak Klabangkoro sambil menarik tangan Dewi Cahyaningsih yang memeluk anaknya, tetapi ibu itu tak mau melepaskan pelukannya.

Puspasari menjerit-jerit dan mengeluh.
“Ibu………. Ibu……”

“Sari…….. Sari anakku…….” Dewi Cahyaningsih juga menjerit pilu.

“Kakang Klabangkoro. Mampuskan saja perempuan tua itu supaya jangan banyak rewel lagi!” kata seorang diantara pengawal-pengawal itu.

Dengan wajah menyeringai mengerikan Klabangkoro mengangkat goloknya yang masih berlumuran darah itu keatas dengan sepenuh tenaga ia membacok!.

“Trang!”

Klabangkoro bereteriak kesakitan dan goloknya hampir saja terlepas dari pegangan! Ternyata ketika ia menganyunkan goloknya membacok ke arah leher Dewi Cahyaningsih, tiba-tiba dari belakang sebatang pohon meloncat keluar seorang laki- laki memegang tombak dan secepat kilat menggerakkan tombaknya menangkis golok yang mengancam leher wanita itu!

“Bangsat jahanam! Siapa kau begitu lancang berani mencampuri urusan kami?” Bentak Klabangkoro, sedangkan sebelas orang kawannya lalu maju mengepung.

Laki-laki itu ternyata adalah seorang yang memakai kedok ikat kepala hitam yang dibalutkan di depan mukanya sebatas mata. Dari sinar matanya dan tubuhnya, dapat diketahuai bahwa ia masih muda benar, tetapi tubuhnya tegap berisi dan tampak kuat.

Melihat dirinya dikepung, pemuda berkedok itu mengangkat tombaknya ke atas dan tiba-tiba dari atas sebatang pohon melayang keluar seorang pemuda lain yang juga berkedok! Pemuda ini bersenjata sebatang pedang dan karena pakaian dan kedoknya serupa dengan yang dikenakan pemuda bertombak, mereka ini seakan-akan dua saudara kembar!

“Keparat!” pemuda bertombak itu balas memaki. “Pembunuh-pembunuh kejam, iblis bermuka manusia! Iblis-iblis macam kalian ini harus dibasmi dari muka bumi!”

Bukan main marahnya Klabangkoro mendengar caci maki ini. Biarpun dari tangkisan tadi ia maklum bahwa pemuda bertombak ini memiliki tenaga kuat, namun mereka hanya berdua, sedangkan dia mempunyai sebelas orang kawan yang telah diketahui kekuatan dan kepandaiannya. Maka ia berbesar hati dan tertawa menghina.

“Ha-ha ! Cacing-cacing busuk hendak berlaku sombong di depan naga! Mampuslah kau!” goloknya diayun tanpa ada peringatan, menunjukkan betapa curangnya kepala pengawal itu!

Akan tetapi dengan memiringkan sedikit kepalanya, bacokan itu tak mengenai sasaran dan pemuda bertombak lalu balas menyerang. Kawannya tertawa bergelak lalu memutar pedangnya yang mempunyai gerakan hebat juga. Tak lama kemudian terjadilah pertempuran hebat dan mati-matian. Dua orang berkedok di keroyok oleh dua belas orang pengawal yang buas dan bertenaga kuat.

“Indra, mari pencarkan mereka!”

Pemuda bertombak berseru kepada kawannya. Memang, dalam keroyokan campur aduk itu mereka tak dapat bergerak leluasa, maka mereka lalu berkelahi sambil mundur saling menjauhi hingga para pengeroyok menjadi terpencar. Pemuda berpedang dikeroyok enam orang dan pemuda bertombakpun dikeroyok enam orang termasuk Klabangkoro!

Karena pemuda bertombak itu mengetahui bahwa para lawannya hanyalah orang- orang yang mengandalkan kebuasan dan kekuatan belaka, maka ia yakin bahwa ia dan kawannya pasti akan dapat mengalahkan mereka. Kalau kiranya para pengeroyok itu berkepandaian tinggi dan cukup membahayakan, tentu ia akan lebih senang membela diri di dekat kawannya hingga dapat saling membantu.

Kini, menghadapi enam orang pengeroyok, ia berlaku lebih leluasa karena dapat mencurahkan perhatiannya. Tombaknya diputar sedemikian rupa hingga ujung tombak berubah seakan-akan menjadi berpuluh-puluh banyaknya dan tiap ujung tombak mengeluarkan tenaga yang luar biasa, karena tiap kali senjata lawan tersentuh ujung tombak itu, senjata lawan pasti terpental!

Keenam pengeroyoknya tak berdaya dan tak dapat menyerang, karena tubuh pemuda itu dilindungi oleh puluhan batang tombak yang bergerak dan berputar cepat sekali! Tak lama kemudian, setelah bertempur puluhan jurus, terdengar teriakakn-teriakan ngeri karena dua orang pengeroyok telah tertembus perut dan dadanya oleh ujung tombak!

Jaka Galing







No comments:

Post a Comment