Ads

Monday, October 30, 2017

Jaka Galing Jilid 08

Bukan main terkejut dan herannya Adipati Gendrosakti ketika pagi hari itu melihat seorang pengawalnya datang kembali berlari-lari dengan wajah pucat, pakaiannya robek-robek dan napas terengah-engah serta tubuhnya lemas dan lemah karena semalam-malaman pengawal itu berlari cepat. Ia menjatuhkan diri sambil menangis di depan kaki Adipati Gendrosakti dan bersenbah.

“Aduh, gusti adipati, celakalah hamba kali ini…….”

“Dwipa, kenapa kau…….? Dan dimana kawan-kawanmu?”

Ketika melihat bahwa semua orang yang telah menghadap disitu memandang heran, ia lalu membubarkan orang-orang itu hingga ia berada berdua saja dengan Dwipa yang berhasil menyelamatkan diri dan pulang.

Pada saat itu Sariti muncul dari ruang dalam dan wanita cantik inipun menjadi pucat melihat keadaan Dwipa.

“Apa yang terjadi?” tanyanya dengan bibir gemetar.

Dengan suara terputus-putus, akhirnya kuasa juga Dwipa menuturkan pengalamannya, betapa mereka dua belas orang yang bertemu dengan dua orang pemuda berkedok yang membinasakan sebelas orang diantara mereka, dan menolong Dewi Cahyaningsih dan Puspasari.

“Apa katamu?”

Gendrosakti marah sekali dan kakinya bergetar menendang hingga tubuh pengawal yang bernasib malang itu terpental jauh bergulingan di atas lantai.

“Ampun, gusti adipati……” Dwipa merintih-rintih.

“Bangsat, pengecut! Manusia-manusia tiada guna! Kalian dua belas orang yang mengaku diri gagah perkasa, kalah oleh dua orang anak muda saja! Alangkah hina dan memalukan!”

Adipati Gendrosakti lalu menjatuhkan diri di atas kursi dan wajahnya pucat sekali. Hal isteri dan puterinya tak sampai terbunuh, tidak membuat ia menyesal bahkan ia bersyukur karenanya. Akan tetapi ia teringat bahwa isteri dan anaknya itu tentu akan terus pergi ke Majapahit dan kalau pengkhianatannya itu dilaporkan kepada Sang Prabu Brawijaya, apa jadinya?

Sariti menghampiri Gendrosakti dan memegang pundaknya denga jari-jari gemetar.
“Celaka, kangmas………. tentu sang parbu akan mengirim barisan menggempur Kadipaten Tandes……”

Tiba-tiba Gendrosakti meloncat bangun dan membentak kepada Dwipa.
“Bangsat, bangunlah dan panggil Dimas Suranata kesini! Ingat, kalau ada yang bertanya kau harus menceritakan bahwa rombonganmu dicegat dan dirampok oleh Jaka Galing anak Panembahan Ciptaning di dalam hutan dan bahwa gustimu Dewi Cahyaningsih dan puterinya telah mereka culik, mengerti?”






Dwipa berlutut menyembah lalu mengundurkan diri untuk menyampaikan perintah memanggil Suranata. Tak lama kemudian Suranata datang menghadap. Ia adalah seorang perwira yang terkenal gagah dan menjadi tangan kanan Gendrosakti hingga mendapat julukan “Banteng Tandes”.

“Dimas Suranata, apakah Dwipa telah menceritakan peristiwa yang dialami oleh isteri dan puteriku?” tanya Gendrosakti setelah mempersilahkan Suranata duduk.

"Sudah, kangmas adipati, tapi belum jelas. Mohon keterangan lebi jauh," jawab Suranata.

“Si keparat Jaka Galing, anak Panembahan Ciptaning dukun palsu itu, ternyata telah memberontak dan menjadi perampok. Dia dan kawan-kawannya telah mencegat mbakyumu Dewi Cahyaningsih dan anakku Puspasari di dalam hutan Kledung dan membunuh mati sebelas orang pengawal serta menculik mbakyumu dan keponakanmu. Sekarang jangan sampai terlambat, adimas, kau kerahkan barisan tamtama dan seranglah kawanan perampok di hutan Kledung itu. Bawalah Dwipa sebagai petunjuk jalan.”

“Baiklah, kangmas adipati. Jangan kau khawatir, kalau baru Jaka Galing dan beberapa orang kawannya saja bukan makanan keras bagiku. Mohon pangestumu saja!”

“Berangkatlah, adimas, dan doa restuku bersamamu!”

Pada saat Suranata menyiapkan barisan tentaranya, diam-diam Adipati Gendrosakti memberi pesan kepada Dwipa untuk membawa beberapa orang kawan ikut dalam barisan itu dan kelak setelah dapat mengobrak-abrik sarang Jaka Galing, hendaknya Dewi Cahyaningsih dan Puspasari dibunuh di dalam keributan pertempuran itu.

Biarpun Suranata telah menyatakan kesanggupannya dan telah berangkat membawa sepasukan perajurit seratus dua puluh orang banyaknya, namun Adipati Gendrosakti tetap merasa tidak enak hati, Ia merasa khawatir dan entah bagaimana, ada sesuatu yang tak sedap terasa dalam hatinya.

Belum lama barisan Suranata berangkat, tiba-tiba terdengnar gong berbunyi dan seorang penjaga memberi laporan sambil berlari-lari bahwa telah datang seorang utusan dari Sang Prabu Brawijaya dari Majapahit dan utusan itu bersama rombongannya telah memasuki pintu gapura.

Kalau ada petir menyambarnya disaat itu, mungkin Gendrosakti tidak sanggup dan setakut saat ia mendengar laporan ini. Bergegas-gegaslah ia berdiri dari kursinya, bertukar pakaian lalu keluar untuk menyambut tamu agung itu.

Diam-diam ia memerintahkan pelayan kepercayaannya untuk memberitahu kepada pegawai-pegawai pribadinya untuk berjaga-jaga dan bilamana perlu, membelanya. Ia menyangka kedatangan ini tentu ada hubungannya dengan Dewi Cahyaningsih, sungguhpun menurut perhitungan agak tidak masuk akal bahwa sang prabu dapat mengetahui sedemikian cepat.

Akan tetapi, ketika melihat bahwa rombongan yang datang hanya terdiri dari belasan orang pengiring yang mengawal dua orang laki-laki, hatinya menjadi tenang kembali. Ia merasa girang sekali melihat bahwa dua orang utusan yang datang itu adalah seorang laki-laki tua yang dikenalnya, yakni penasihat Majapahit bernama Ki Ageng Bandar dan seorang pemuda tampan dan berpakaian indah sekali ialah seorang pangeran, putera selir, dan bernama Pangeran Bagus Kuswara! Dengan senyum lebar, Adipati Gendrosakti menyambut para tamunya.

“Wahai, Paman Bandar, angin baik darimanakah yang meniup paman sampai ke pondokku yang buruk ini?” Kemudian kepada Pangeran Bagus Kuswara, ia berkata. “Dimas pangeran, kau makin tampan dan gagah saja! Kalian baik-baik saja bukan?”

Mereka saling menyapa dan menyalam dengan gembira dan Adipati Gendrosakti lalu menggiringkan para tamu agungnya ke ruang dalam. Para pelayan sibuk melayani mereka, mengeluarkan segala hidangan yang terbaik dengan sikap yang sangat hormat.

Para pelayan wanita itu tak dapat mencegah mata mereka yang mengerling kearah pangeran yang tampan itu dengan kagum sekali. Dan pangeran ini, yang biasa hidup mewah dan memang terkenal sebagai seorang pangeran muda yang mata keranjang, tiada hentinya melirik ke sana ke mari mencari “obat mata”.

Setelah menanyakan keselamatn masing-masing, Ki Ageng Bandar menuturkan maksud kedatanganya.

“Karena ananda adipati telah berbualn-bulan tidak pernah datang menghadap ke Majapahit, maka saya diutus oleh sang prabu untuk menjenguk ke Kadipaten Tandes melihat keadaan. Gusti prabu merasa khawatir kalau-kalau disini terjadi sesuatu yang tidak dikehendaki. Akan tetapi, syukurlah bahwa ternyata keadaan disini tentram dan damai.” Ki Ageng Bandar lalu minum air teh wangi yang dihidangkan dengan nikmatnya.

“Dan aku hanya ikut saja, kangmas adipati. Ingin melihat betapa cantiknya kadipatenmu dan ingin sekali aku berjalan-jalan di tepi pantai laut!” kata Pangeran Bagus Kuswara, kemudian pangeran ini teringat akan kakaknya dan bertanya. “Dan dimanakah kakang mbok Dewi Cahyaningsih, kangmas? Aku tidak melihat beliau keluar menemui kami.”

Gendrosakti menghela napas dan tiba-tiba wajahnya berubah sedih, Setelah menghela napas berkali-kali, akhirnya berkata.

"Inilah yang mengganggu pikiranku dimas pangeran. Memang dilihat dari luar seakan-akan disini tidak terjadi sesuatu, akan tetapi sebenarnya telah terjadi peristiwa hebat yang menggoncangkan seluruh Kadipaten Tandes ini!"

Ki Ageng Bandar memandang kepada tuan rumah dengan heran.
“Ada peristiwa hebat apakah, ananda adipati?”

“Kemarin aku telah mengutus isteriku yayi Dewi Cahyaningsih beserta anakku Puspasari untuk menghadap rama prabu di Majapahit dengan dikawal oleh dua belas orang pengawal pilihan. Akan tetapi……..” kembali adipati itu menghela napas dan tiba-tiba saja dari kedua matanya menitikkan dua butir air mata!

“Apa yang terjadi?” kedua orang tamu itu bertanya cemas.

“Mereka telah dicegat perampok yang dikepalai seorang perampok muda bernama Jaka Galing. Para pemikul tandu dan para pengawal dibunuh mati, hanya seorang saja yamg dapat menyelamatkan diri, sedangkan…….”

Pangeran Bagus Kuswara memegang lengan kakak iparnya.
“Apa yang terjadi dengan kakang mbok dan puterinya?”

“Kakakmu dan……. Puspasari……telah……… telah diculik oleh gerombolan Jaka Galing…..!”

“Ya Jagat Dewa Batara!” Ki Ageng Bandar menyebut nama dewata.

“Babo, babo! Si keparat Jaka Galing itu harus dibinasakan!” Pangeran Bagus Kuswara mencaci.

Adipati Gendrosakti lalu menuturkan betapa ia telah mengutus Suranata membawa seratus dua puluh orang perajurit untuk membasmi kawanan perampok itu dan menolong isteri dan puterinya.

Mereka lalu bercakap-cakap dan adipati itu sedapat mungkin memperlihatkan wajah muram dan sedih. Akan tetapi pangeran muda yang sembrono itu dapat menghibur suasana dengan kata-katanya yang jenaka dan gembira. Bahkan ia berani bertanya.

“Kangmas adipati, aku mendengar berita angin bahwa kau telah memboyong kembang juita dari Surabaya, betulkah?”

Ki Ageng Bandar menggunakan matanya memberi isyarat untuk menegur pangeran yang sembrono ini, akan tetapi Adipati Gendrosakti menjawab.

“Kau maksudkan Sariti? Memang benar adimas.”

“Kangmas, mengapa kau anggap kami sebagai orang-orang asing? Bukankah kita masih sanak dekat? Mengapa kau simpan selir-selirmu di dalam dan tidak disuruh menyambut kami?”

Pertanyaan ini memang kurang ajar sekali,akan tetapi karena pangeran ini sudah biasa berlaku demikian, Adipati Gendrosakti hanya tersenyum dan menjawab,

“Dimas pangeran, aku hanyalah seorang adipati kecil, tidak seperti engkau. Mana aku berani memelihara banyak selir? Selirku hanyalah Sariti seorang!”

“Bagus, bagus! Memang kau seorang laki-laki setia. Tapi, kangmas, apa salahnya kalau kakang mbok Sariti keluar menjumpai kami? Karena ia adalah selirmu, maka ia termasuk keluargaku juga.”

Adipati Gendrosakti memang sengaja memesan supaya selirnya itu jangan keluar menemui tamu agung karena tadinya ia menyangka bahwa kedatangan mereka bertalian dengan urusan Dewi Cahyaningsih.

Akan tetapi setelah ternyata bahwa kedatangan mereka itu bukan untuk urusan itu, ia lalu menyuruh seorang pelayan untuk memberitahu kepada Sariti dan meminta supaya selirnya itu keluar menyambut tamu agung.

Ketika Sariti keluar dari ruang belakang. Pangeran Bagus Kuswara memandang sambil menahan napas. Ia terpesona oleh kecantikan wanita yang sedang melenggang halus menghampiri mereka itu dan ia merasa seakan-akan sedang berhadapan dengan seorang bidadari yang baru turun dari khayangan!

Demikian cantik jelitanya wajah Sariti, demikian menggairahkan potongan tubuhnya, terutama mata dan bibirnya! Sungguh,dalam pandangan mata Bagus Kuswara, belum pernah ia melihat wanita secantik dan sejelita Sariti!

Bahkan Ki Ageng Bandar yang sudah tuapun untuk sesaat tercengang dan kagum melihat si jelita itu, tapi ia dapat menekan perasaannya dan batuk-batuk memberi tanda kepada pangeran yang bengong memandang wanita itu. Pangeran Bagus Kuwara sadar dari mimpinya, lalu ia menyapa dengan hormatnya.

“Kakang mbok Sariti, sungguh aku merasa bahagia sekali dapat berkenalan dengan engkau. Kangmas adipati memang seorang laki-laki yang paling berbahagia di muka bumi ini!”

Jaka Galing







No comments:

Post a Comment