Ads

Monday, November 13, 2017

Keris Pusaka dan Kuda Iblis Jilid 02

Jarot menyatakan terima kasih dan mereka menuju ke bale-bale lalu duduk berhadapan. Sebenarnya Jarot merasa berat untuk duduk bersanding dan hendak duduk bersila di bawah, tapi hal ini dicegah oleh orang tua itu yang berkata,

"Angger Jarot, jangan kau rendahkan diri di depanku secara berlebih-lebihan. Kau masuk ke rumahku sebagai tamu, dan sebagai orang segolongan, tak perlu kita sungkan-sungkan. Kau lihat dan periksalah keris ini dan coba nyatakan pendapatmu."

Jarot menerima keris luk tiga yang semenjak tadi dipegang oleh orang tua itu. Keris itu sudah hampir selesai dibuat, tinggal menghaluskan saja. Pamornya berkembang bagaikan kulit ular Sanca, warnanya hitam kehijau-hijauan, dan matanya tajam sekali.

Jarot kagum melihat keris itu dan diam-diam ia akui bahwa orang tua di hadapannya itu setingkat kepandaiannya dalam pembuatan keris jika dibanding dengan Empu Jayagung, paman gurunya. Satu hal yang membuat ia heran dan tercengang ialah logam yang dijadikan keris itu. Belum pernah ia melihat logam dengan warna seperti itu dan yang mengeluarkan cahaya seakan-akan logam itu menyemburkan bunga api.

"Pusaka ampuh, eyang..... sungguh saya tidak pernah melihat waja seganjil ini, seakan-akan mengandung hawa..... hawa....” ia ragu-ragu untuk melanjutkan kata¬-katanya.

"Teruskan, angger."

"Maaf, eyang, keris ini seakan-¬akan mengandung hawa maut!"

"Kau betul, angger, kau benar. Biarlah sekarang aku perkenalkan diri. Aku adalah Empu Madrim, masih seperguruan dengan Kiai Gede Pemanahan dan ketika Raden Sutawijaya menjadi bupati dengan gelar Senapati Ing Alaga Saidin Panatagama sampai pada waktu satria yang gagah perwira itu membangun Kerajaan Mataram, aku sudah menjadi empunya. Semenjak Raden Sutawijaya tewas dan puteranya, yakni Mas Jolang atau ramanda Sri Sunan yang sekarang, menjadi penggantinya, aku merasa sudah bosan berurusan dengan dunia ramai, maka aku mengasingkan diri di puncak Gunung Sumbing. Dan sebulan yang lalu, tiba¬-tiba saja Sri Sultan memanggil aku dan aku diserahi tugas yang berat ini, bukan berat untuk dikerjakan, tapi berat menekan batin."

Jarot mengangguk-angguk. Ia pernah mendengar nama Empu Madrim ini dari gurunya, tapi ia tak menyatakan ini, hanya bertanya,

"Tugas berat apakah itu, eyang?"

"Begini, angger. Beberapa bulan yang lalu, pada suatu malam Jum'at Kliwon, penduduk kampung Dadapan menjadi geger karena dengan tiba-tiba saja rumah seorang petani terbakar. Petani itu dengan isteri dan lima orang anaknya, semua binasa termakan api. Hanya bujangnya yang selamat dan menurut keterangan bujangnya itu, pada kira-kira tengah malam tepat, terdengar suara mengaung dari atas. Ia lari keluar dan melihat bintang jatuh. Tapi bintang itu tidak lenyap seperti biasa, bahkan makin hebat cahayanya yang merah bagaikan darah. Dan benda yang bernyala-nyala itu tepat jatuh di rumah itu, menembus atap dan segera rumah itu terbakar habis! Setelah api padam, rumah dan tujuh orang penghuninya telah menjadi abu, orang kampung Dadapan ketemukan sebuah logam yang hitam kehijau-¬hijauan sebesar tangan orang. Mereka ambil benda itu dan menyerahkan ke hadapan Sri Sultan. Melihat logam yang ganjil itu, Sri Sultan berhasrat keras untuk membuat keris pusaka, tapi tak seorangpun empu yang berada di Mataram ini kuasa melebur logam itu. Karena itulah maka aku dicari dan diutus kesini membuatnya."






"Memang tepat, eyang, karena selain eyang, siapa pulakah yang sanggup?” Jarot memuji.

"Tapi aku tak rela, angger, aku tak rela. Tanganku menjadi kotor karenanya, angger. Logam ini pertama kali terjelma telah makan tujuh jiwa dan aku tahu..... aku tahu..... masih banyak darah yang akan diminumnya.... dan aku.... tangankulah yang membentuknya menjadi keris...."

"Eyang hanya menjalankan titah sri baginda." Jarot menghibur.

"Karena itulah, angger. Sri Sultan Agung adalah seorang raja yang bijaksana dan luhur budinya. Tidak pantas beliau memelihara keris Margapati ini. Siapa memegang keris ini, ia akan terlibat dalam soal pembunuhan terus-menerus, dan aku tidak rela kalau Sri Sultan sampai terkena malapetaka ini. Maka, memang Dewata adil, angger. Tanpa dipanggil angger datang. Kaulah orangnya yang sanggup menghindarkan raja dari kutukan keris ini. Jarot, akuilah, bukankah kau ini putera Panembahan Cakrawala dan pernah berguru kepada Kyai Ageng Sapujagat?"

Terkejutlah Jarot mendengar ini. Bagaimana orang tua ini bisa tahu? Ia hanya memandang dengan tercengang dan mengangguk perlahan.

"Tak usah heran, angger. Akupun pernah diberi berkah oleh Kyai Ageng Sapujagat yang tuturkan padaku akan halmu. Kita bukanlah orang luar, angger."

Jarot rangkapkan tangan menyembah.
"Maaf, eyang, saya tadinya tidak tahu bahwa eyang mempunyai hubungan dengan eyang guru, maka saya tidak berterus terang. Sekarang terserahlah kepada eyang, saya hanya menurut saja segala petunjuk eyang."

"Begini, angger. Kau tundalah perantauanmu dan hentikanlah dulu darma-brata-mu. Kini telah tiba saatnya bagimu untuk mengabdi kepada Sri Sultan yang mulia hingga dengan demikian akan lebih luaslah darma-¬baktimu kepada Ibu Pertiwi. Kerajaan Mataram menghadapi bermacam-macam percobaan Yang Kuasa, angger, dan yang dapat menolong hanya kau dan si Margapati ini."

"Apa yang harus saya lakukan, eyang?"

"Besok adalah hari sayembara perang-perangan yang diadakan tiap pekan sekali oleh Sri Sultan. Sayembara ini selalu diadakan oleh Sri Sultan yang memang suka akan olah keprawiraan, dan dengan demikian maka dapat dikumpul dan dipilih satria-satria yang gagah perkasa. Kau masukilah sayembara itu, angger. Setelah kau mengabdi raja, maka lindungilah raja dari keris maut ini, buktikanlah hawa maut yang dikandungnya hingga raja percaya akan pengaruh jahat keris ini dan suka menjauhinya."

Jarot menyatakan kesanggupannya hingga Empu Madrim menjadi demikian girang dan lega hingga ia berkenan memberi wejangan-wejangan ilmu dan aji kesaktian kepada Jarot dan semalam suntuk mereka berdua tidak tidur sama sekali.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Empu Madrim membawa keris Margapati ke keraton. Sebelum berpisah ia pesan kepada Jarot supaya berhati-hati dan waspada dalam segala sepak terjangnya.

Seperti biasa pada tiap hari Sabtu, pagi-pagi sekali SriSultan Agung telah turun dari tempat peraduannya dan bersiap-siap pergi ke alun-alun menyaksikan pertandingan-pertandingan adu kegagahan.

Teristimewa pagi ini, karena di alun-alun akan lebih ramai daripada hari-hari Sabtu biasa dengan adanya pengumuman bahwa hari ini akan diadakan sayembara pemilihan seorang kepala pahlawan keraton, yakni para perajurit gagah perkasa yang bertugas menjaga dan melindungi keselamatan raja dan seisi keraton.

Sambil mengenakan busana yang indah dan istimewa, Sri Sultan Agung tersenyum gembira memandang bayangannya di dalam sebuah cermin besar. Sri Sultan Agung pada waktu itu telah berusia empat puluh tahun, tapi masih tampak gagah dan tampan bagaikan seorang jejaka teruna.

Tiba-tiba ia melihat dari bayangan cermin betapa Gombak, abdi pelayannya yang setia, menolak daun pintu dan memasuki kamar dengan jalan berjongkok, menyembah lalu berhenti di belakangnya dan…….

"Ampunkan hamba berani menghadap tanpa dipanggil," kata Gombak.

"Ada apa, Gombak?" tanya Sang Sultan Agung dari bayangan cermin.

"Di luar Empu Madrim mohon menghadap, gusti."

"Silakan dia menanti sebentar, aku akan menerimanya di ruang luar," jawab Sri Sultan dengan sabar.

Ketika Sri Sultan keluar, Empu Madrim berdiri dari kursi yang didudukinya dan membungkukkan badan sebagai tanda menghormat. Sebagai seorang pertapa golongan tua, ia tak perlu bersila dan menyembah kepada raja muda ini.

Dengan wajah berseri-seri dan suara halus, Sri Sultan Agung mempersilakan Empu Madrim duduk dan ia sendiri duduk di atas kursi gading terukir.

"Angger Sultan, sekarang adalah saatnya hamba menghaturkan keris yang paduka kehendaki. Inilah keris Margapati, angger."

Dengan gembira Sultan Agung menerima keris Margapati dan dalam hatinya ia terkejut melihat betapa keris luk tiga itu bercahaya bagaikan mengeluarkan api.

"Ah, benar-benar senjata pusaka keramat," katanya perlahan.

"Tapi keampuhannya mendatangkan kebinasaan, angger Sultan. Yakni kalau terjatuh ke dalam tangan seorang tak berbudi. Maka, mohon angger berlaku waspada terhadap keris ini. Kuberi nama keris ini Margapati, karena memang dia telah menjadi sebab kebinasaan dan jika tidak terjaga baik-baik, di kemudian hari dia masih akan menimbulkan maut dan malapetaka."

Tapi Sri Sultan Agung terlampau tertarik dan suka kepada keris pusaka yang betul-betul indah itu hingga pesan dan peringatan Empu Madrim seakan-akan tak terdengar olehnya.

Berkali-kali Sri Sultan memuji-muji keahlian Empu Madrim dan tak lupa menyatakan terima kasihnya, bahkan sebagal hadiah, ia perintahkan pelayan untuk mengambil pakaian indah serta barang-barang berharga lain untuk diberikan kepada pertapa itu. Tapi Empu Madrim menolaknya dengan halus dan tersenyum lebar.

"O, angger Sultan, hamba seorang tua tiada guna yang hanya menanti datangnya saat pembebasan dari raga yang sudah lapuk ini. Untuk apa semua barang¬-barang yang hanya indah bagi raga itu? Sedangkan ragaku sudah lemah dan rusak. Kalau hendak memberi anugerah, janganlah memberi benda, ya angger junjunganku, berilah saja sebuah janji."

Sri Sultan tertawa heran.
"Janji? Boleh, paman Empu, janji apakah itu? Tentu akan kuberi janji itu asalkan pantas dan dapat kulaksanakan."

"Janji yang sederhana saja, angger. Berjanjilah kepadaku bahwa angger seterusnya akan melindungi rakyat jelata, akan memerintah dengan adil dan bijaksana dan akan menggunakan keris Margapati hanya untuk membela keadilan belaka."

Tentu saja Sri Sultan Agung yang terkenal arif bijaksana itu merasa girang sekali mendengar permintaan ini dan tanpa ragu-ragu ia berikan janji itu kepada Empu Madrim.

Empu Madrim mengelus-elus jenggotnya yang putih dan panjang lalu mengangguk-angguk senang.

"Semoga Yang Maha Kuasa selalu melindungi Paduka Sultan dan Kerajaan Mataram serta sekalian rakyatnya."

Kemudian Empu Madrim bermohon diri dan kembali ke tempat pertapaannya, yakni di puncak Gunung Sumbing. Sri Sultan Agung lalu kembali memasuki kamarnya, menanti datangnya para punggawa yang akan datang menyongsong dan mengantarkannya ke alun-alun tepat pada waktunya.

Sementara itu, Jarot yang ditinggalkan Empu Madrim, merasa perutnya lapar sekali. Semenjak kemarin ia belum makan. Selain lapar, iapun ingin sekali mandi karena sudah menjadi kebiasaannya semenjak kecil untuk mandi air dingin di waktu pagi. Ia ingat bahwa ketika kemarin memasuki kota ini, ia melihat kali bengawan yang jernih airnya. Maka ia segera meninggalkan pondok kecil itu dan pergi mencari sungai untuk mandi.

Agak jauh dari kampung itu ia dapatkan sungai yang besar dengan airnya yang bening, maka ia merasa girang sekali. Pada saat ia hendak membuka pakaian dan mandi, tiba-tiba terdengar suara merdu beberapa orang wanita yang bercakap-cakap sambil tertawa. Cepat ia meloncat menyingkir dan bersembunyi di balik serumpun alang-alang. Ternyata yang datang adalah tiga orang gadis yang membawa pakaian untuk dicuci dan agaknya mereka hendak mandi pula.

Jarot biasanya tidak tertarik hatinya melihat wanita muda, tapi kali ini melihat gadis yang berjalan di tengah, tiba-tiba hatinya berdebar. Wajah gadis sederhana dengan mulutnya yang tersenyum-senyum itu seakan mempunyai daya tarik yang luar biasa hingga ia menatap gadis itu bagaikan kehilangan semangat! Pula, di dasar hatinya ia merasa seakan-akan gadis itu tidak asing baginya, dan timbullah perasaan yang mesra sekali terhadap anak gadis itu.

Ketiga orang gadis itu sambil tertawa-tawa masuk ke dalam air sungai yang hanya sampai sebatas paha dalamnya dan mereka menaruh pakaian yang dibawa ke atas batu-batu hitam yang banyak terdapat disitu.

"Sari, cucianmu paling banyak, kami akan membantumu agar lebih cepat selesainya, tapi kau harus menembang untuk kami," kata seorang diantara mereka kepada gadis yang menarik hati Jarot.

Gadis itu tersenyum.
"Kau ini aneh, pagi-pagi orang disuruh menembang. Kan malu kalau terdengar orang lain."

"Ah, sepagi ini takkan ada orang disini. Kami suka sekali mendengar suaramu yang merdu, Sari. Nyanyikanlah lagu Asmaradana!" Gadis kedua ikut mendesak.

Keris Pusaka dan Kuda Iblis







No comments:

Post a Comment