Ads

Monday, November 20, 2017

Keris Pusaka dan Kuda Iblis Jilid 12

"Hamba tak dapat menceritakan, kanjeng rama, biarlah Jarot sendiri yang bercerita," jawab Amangkurat. Mendengar ini Sultan Agung menjadi marah.

"Apa artinya ini?" bentaknya marah dan memandang berganti-ganti kepada Amangkurat dan Jarot.

Tumenggung Suryawidura menyembah.
"Ampunkan jika hamba lancang, gusti. Bolehkah hamba menceritakan peristiwa yang dimaksud itu?"

Sultan Agung mengangguk. Lalu dengan licin sekali Tumenggung Suryawidura yang membenci Jarot menuturkan betapa Jarot telah membunuh dan melukai pengawal-pengawal pangeran dan bahkan hampir saja membunuh Pangeran Amangkurat. Selain dari itu Jarot juga merampas keris pusaka Margapati. Tentang kejahatan pangeran dan kaki tangannya sama sekali tidak disebut-sebut oleh tumenggung itu.

Sultan Agung mendengar laporan ini dengan heran. Biarpun Tumenggung Suryawidura tidak menyebut hal kesalahan pangeran, namun Sultan Agung dapat menduga bahwa tindakan Jarot itu pasti ada latar belakangnya dan ia hampir yakin bahwa betapapun juga Pangeran Amangkurat tentu telah melakukan suatu pelanggaran, maka diam-diam ia merasa menyesal mengapa ia telah kabulkan permintaan Pangeran Amangkurat untuk diberi ijin mengambil keris pusaka Margapati.

Melihat Sultan Agung termenung, Tumenggung Suryawidura berkata lagi,
"Menurut pendapat hamba, dosa Jarot sungguh besar. Pertama ia telah memberontak dan melawan pangeran, kedua ia telah membunuh pengawal-pengawal gusti Pangeran Amangkurat, ketiga ia telah berani merampas keris pusaka Margapati. Hamba usulkan untuk menghukum picis padanya."

Sultan Agung agaknya baru sadar dari lamunannya. Ia maklum betapa berat dosa-dosa ini, tapi sebenarnya hatinya tidak tega untuk menghukum pemuda yang gagah perwira dan telah berjasa itu.

"Jarot, kau kuberi kesempatan dan hak membela diri. Benarkah segala tuduhan yang dikemukakan oleh tumenggung tadi?" Sultan Agung bertanya kepada Jarot.

Jarot menyembah dan berkata tetap,
"Benar, gusti."

"Mengapa kau lakukan hal itu, Jarot?" tanya pula Sultan.

"Karena hamba telah gelap mata, terlampau menuruti dorongan nafsu hati yang menggelora, gusti."

"Tapi mengapa kau menjadi gelap mata, apa alasanmu maka kau berani melawan pangeran?" Sultan mendesak.

Jarot menyembah hormat.
"Ampun gusti. Hamba hanya ingin menebus dosa, ingin menerima hukuman karena dosa-dosa ini. Hamba bersedia menerima hukuman apa saja yang paduka jatuhkan pada diri hamba."






Diam-diam Sultan Agung menyesali puteranya sendiri, tapi karena Jarot sendiri yang tidak mau mengaku, iapun tak terlalu mendesak, karena ia yakin bahwa latar belakang peristiwa ini tentu sesuatu yang memalukan keluarga keraton.

Tiba-tiba Ki Ageng Baurekso tak dapat menahan hatinya yang gemas mendengar laporan Tumenggung Suryawidura yang berat sebelah itu dan ia maju menyembah.

"Gusti Sultan, perkenankan hamba menyatakan pendapat hamba dalam hal ini. Hamba tidak tahu peristiwa apa yang terjadi antara gusti pangeran dan Jarot, tapi karena Jarot sendiri telah mengakui akan kedosaan-kedosaan yang dituduhkan padanya, hambapun tak dapat berkata apa-apa. Hanya hendaknya paduka tidak lupa bahwa Jarot telah berjasa besar dalam melawan musuh, bahwa dia telah membela Mataram dengan gagah beraninya. Maka, hamba sama sekali tidak setuju dan tak dapat menerima usul tumenggung akan hukuman picis yang dijatuhkan kepada Jarot. Hamba mengharap keadilan paduka."

Sultan Agung menghela napas. Biarpun dalam hati ia tak senang untuk memberi hukuman kepada Jarot, namun di depan sidang ia tak boleh memperlihatkan kelemahannya dan harus menunjukkan keadilan. Siapa yang berdosa, harus dihukum, betapapun besar jasanya yang telah dicurahkan demi kepentingan Mataram. Kalau keadilan ini tidak dilaksanakan, maka para pahlawan yang sudah berjasa tentu dapat melakukan penyelewengan dengan mengandalkan kedudukan dan jasa mereka.

"Karena sudah nyata bahwa Jarot berdosa sebagaimana pengakuannya, aku jatuhi hukuman cambuk seratus kali dan pengasingan dari kota raja!"

Mendengar keputusan hukuman ini, wajah Amangkurat dan Tumenggung Suryawidura berseri puas, tapi para senapati yang kagum dan sayang kepada Jarot menjadi pucat. Ki Ageng Baurekso cepat menyembah dan berkata,

"Maaf, gusti. Hamba merasa penasaran sekali jika Jarot diberi hukuman seberat itu. Bukan semata-mata rasa sayang hamba kepadanya yang mendorong hamba majukan keberatan ini, tapi terutama mengingat akan peri keadilan dan kepentingan Mataram sendiri. Jarot telah berjasa banyak dalam pertempuran dan biarpun dia telah berbuat dosa, namun belum tentu perbuatannya itu semata-mata berdasarkan hati jahat, hamba yakin bahwa tentu ada apa-apa yang membuat ia lupa dan mengamuk demikian rupa hingga tak ingat bahwa yang dilawannya adalah gusti pangeran sendiri. Mohon paduka jangan lupa pula bahwa kita masih banyak membutuhkan tenaga panglima-panglima gagah perkasa seperti dia ini, karena bukankah rencana paduka masih banyak dan luas? Tidakkah tenaga seorang pemuda seperti Jarot ini akan sangat dibutuhkan oleh Mataram kelak? Maka hamba usulkan sebuah pengampunan untuknya. Jika tidak mungkin dibatalkan semua hukuman yang dijatuhkan padanya, hamba mohon supaya hukuman pengasingan dibatalkan, supaya Jarot tetap diperkenankan tinggal di tempat ini. Adapun jika kelak dia melakukan pelanggaran-pelanggaran lagi, biarlah hamba Baurekso yang menanggungnya!"

Ki Ageng Baurekso besar sekali pengaruhnya dan terkenal sebagai seorang senapati yang berjasa besar dan berwatak jujur dan keras, maka terhadap usul ini biarpun Tumenggung Suryawidura sendiri maupun Pangeran Amangkurat, tidak berani mencelanya. Sedangkan Sultan Agung sendiri yang memang tadi mengeluarkan keputusan hukuman itu hanya karena ingin memperlihatkan sikap adil, mendengar nasihat dan usul senapatinya, mengangguk-angguk dan berkata dengan suara tetap.

"Mendengar usul dan pendapat paman senapati, maka hukuman dikurangi menjadi hukuman cambuk seratus kali. Adakah pendapat lain diantara kalian?"

Tapi tak seorangpun majukan usul hingga hukuman bagi Jarot sudah tetap, yakni dicambuk seratus kali. Sedangkan keris pusaka Margapati dirampas kembali.

Ki Ageng Baurekso tersenyum puas ketika sidang dibubarkan dan ia mendekati Jarot.
"Gusti Sultan sungguh bijaksana, bukan? Aku yakin beliau juga maklum bahwa hukuman seratus kali cambukan itu tiada artinya bagi kulitmu yang kebal! Bukankah kau memiliki aji kebal dan tidak dapat terluka oleh senjata tajam? Apa artinya cambukan pecut kulit bagi kulit tubuhmu atau kulit tubuhku? Ha-ha-ha!"

Ki Ageng Baurekso tertawa bergelak-gelak sambil mengeluarkan air mata. Tapi Jarot hanya tersenyum dan tak terbawa gelombang kegembiraan senapati tua itu.

Sementara itu, dua orang petugas yang biasa menjalankan hukuman yang dijatuhkan kepada seorang hukuman maju menghampiri dan bersiap hendak melakukan hukuman cambuk seratus kali kepada Jarot. Ki Ageng Baurekso berkata kepada mereka sambil tertawa geli,

"Eh, kalian algojo tua! Sebelum mencambuk punggung Jarot, makanlah dulu kenyang-kenyang! Kalau tidak, kalian akan kehabisan tenaga. Cambuk yang keras, sekeras-kerasnya, ha-ha!!"

Dan kedua algojo itu tersenyum, lalu tuntun Jarot dengan sikap hormat ke alun-alun untuk menjalankan tugas mereka.

Semua senapati berkumpul untuk menyaksikan Jarot menjalani hukuman. Jarot diikat kedua tangannya keatas, dihubungkan dengan sebuah tiang dan tubuhnya bagian atas telanjang.

Kedua algojo sudah memegang dua batang cemeti, yakni pecut dari kulit kerbau yang panjang dan kuat. Setelah tanda dibunyikan, maka pecut-pecut itu berputaran di udara dan sambil mengeluarkan bunyi nyaring pecut pertama menyabet punggung Jarot yang telanjang.

Para senapati memandang tenang karena mereka yakin akan kesaktian Jarot, tapi para rakyat yang melihat dari jauh merasa ngeri, bahkan terdengar pekik wanita di sana-sini.

Ketika pecut yang menyabet kulit punggung itu terlepas, maka terdengar seruan kaget dan ngeri di kalangan senapati dan perajurit. Kulit Jarot yang putih kuning dan bersih halus itu mengeluarkan darah. Dari batas leher sampai ke pinggang tampak bekas pecut memanjang, berwarna merah mengerikan karena darah mulai mengucur keluar! Ki Ageng Baurekso meloncat dari tempat duduknya dan berdiri di depan Jarot yang menggigit bibir menahan sakit.

"Jarot! Kau gila? Kenapa kau terima saja derita ini tanpa perlawanan? Betul-betulkah kau tidak memiliki kekebalan?"

Kata-kata ini mengandung ketidak percayaan dan keheranan. Namun Jarot hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala.

Panglima-panglima lain yang dulu menjadi lawan Jarot dalam sayembara dan kini telah mendapat pangkat, yaitu Suro Agul-agul yang telah menjadi tumenggung, Madurorejo yang telah menjadi adipati, dan Uposonto menjadi adipati pula, juga berada disitu dan mereka mendesak kepada Jarot untuk gunakan kesaktian melawan siksaan hukuman itu. Tapi Jarot hanya berkata perlahan,

"Aku telah berdosa, aku telah banyak membunuh dengan kejam, hukuman ini cukup ringan,"

Dan berbunyilah cemeti itu berkali-kali, menimpa kulit punggungnya hingga kini menjadi matang biru dan penuh darah. Pada pukulan cambuk keseratus kalinya, Jarot jatuh pingsan!

Orang-orang segera menolongnya dan melepas tali pengikat lengannya, lalu menggotongnya ke rumah Ki Galur.

Alangkah kagetnya Ki Galur dan penduduk kampung melihat Jarot digotong pulang dengan mandi darah dan pucat lemah. Sekarsari melihat keadaan Jarot sedemikian itu, berlari-lari sambil menangis lalu menubruk tubuh yang berbaring di atas pikulan bambu dianyam.

"Mas Jarot....." katanya lirih dengan hati hancur luluh.

Ia tak dapat menangis, hanya memandang keadaan pemuda itu dengan mata terbelalak dan wajah sepucat mayat, lalu buru-buru ia mendahului masuk pondok dan menyiapkan balai bambu dimana Jarot direbahkan orang.

Belum juga Jarot sadar dari pingsannya. Menjelang senja Jarot siuman. Ia bergerak dan merintih lirih. Punggungnya terasa perih dan sakit, sedangkan seluruh tubuhnya terasa kaku. Ia buka matanya. Sekarsari berlutut di dekat pembaringannya sambil memandangnya sayu, air mata membasahi kedua pipinya.

"Bagaimana, mas.....?"

Jarot tersenyum. Hatinya girang bahwa hukuman itu telah lewat. Memang sakit dan perih, tapi perasaan dan hatinya lega karenanya. Dadanya terasa lapang. Ia telah berlaku salah tapi telah pula menjalani hukuman. Ia paksa diri bangun dan duduk. Sekarsari cepat-cepat membantunya.

Sentuhan tangan yang halus itu mengurangi rasa panas yang menjalar di seluruh tubuhnya. Air mata Sekarsari mengalir lagi ketika ia melihat punggung Jarot, Sambil menahan isak gadis itu menggunakan jari tangan yang dicelup minyak dengan ramuan jamu untuk mengobati luka-luka di punggung. Jarot menggigit bibir.

"Bagaimana, mas? Sakitkah??" suara Sekarsari penuh iba.

Sekali lagi Jarot tersenyum.
"Sakit sedikit, tapi tanganmu lembut dan lunak, mengurangi rasa perih."

Makin deras keluarnya air mata di mata Sekarsari, tapi isaknya ditahan di dada dan di bibirnya bergerak ke arah senyum,

"Tidak sakitkah punggungmu kujamah?"

"Tidak, Sari, bahkan kini hilang rasa panasnya dan hampir tak terasa lagi perihnya."

"Kasihan kau, mas Jarot! Jahat sekali gusti Sultan!"

Jarot bergerak cepat dan gunakan tangannya menutup bibir manis yang sedang cemberut itu.

"Ssst...Jangan berkata demikian, Sari."

"Baik..... baik, aku takkan berkata begitu lagi. Tapi kau berbaliklah, jangan menghadap kesini saja. Perlihatkan punggungmu."

Jarot dengan hati gembira memutar tubuhnya. Ia merasa bahagia dan girang sekali hingga sudah terlupalah olehnya segala siksa yang dideritanya tadi. Sekarsari dengan hati-hati sekali dan dengan sentuhan jari tangan yang mengandung penuh rasa sayang dan iba, setelah melumuri seluruh punggung dengan minyak lalu menggunakan daun menutup luka-¬luka itu.

Keris Pusaka dan Kuda Iblis







No comments:

Post a Comment