Ads

Sunday, November 26, 2017

Keris Pusaka dan Kuda Iblis Jilid 18

Alangkah terkejutnya hati Tumenggung Suryawidura melihat mayat anaknya, dan ia heran melihat tubuh gadis yang pingsan itu, karena sesungguhnya ia lupa dan tidak mengenali Maduraras. Dengan singkat Uposonto menuturkan tentang perkelahian antara Bahar dengan Jarot.

"Anak bedebah itut Awas, besok akan kulaporkan kepada Sri Sultan!" tumenggung tua itu mengutuk.

''Saya rasa paman tumenggung hendaknya bersabar sedikit. Lebih baik tanyakan lebih dulu duduknya hal kepada puteri paman jika ia telah siuman."

"Ia....... Maduraras?" dan tumenggung Suryawidura lari ke dalam untuk melihat Maduraras.

Uposonto menanti sebentar dan tak lama kemudian tumenggung keluar kembali, wajahnya tampak sedih dan marah,

“Ia telah siuman tapi belum mau bicara, hanya menangis saja."

"Paman tumenggung, saya ulangi lagi bahwa sebaiknya paman jangan mengganggu Sri Sultan pada waktu ini. Paman sendiri maklum betapa sibuk pikiran Sri Sultan dengan rencana penjelajahan bala tentara Mataram ini. Janganlah hendaknya Sri Sultan diganggu dengan urusan-urusan pribadi."

Tumenggung Suryawidura memandang marah,
"Habis, harus diam sajakah aku dihina oleh Jarot anak desa itu?"

"Bukan demikian, paman. Urusan ini masih dapat diselesaikan kelak bila perjuangan ini sudah dikerjakan dengan hasil baik. Ketahuilah bahwa dimas Jarot sendiripun ikut dengan kami membela Mataram. Maka, kalau paman melaporkan hal ini sekarang, berarti paman mendatangkan dua kerugian. Pertama, Sri Sultan akan terganggu dan kedua barisan kami akan kehilangan tenaga Jarot yang sangat kami andalkan itu. Ingatlah, paman. Belum terlambat agaknya hal ini diurus lebih lanjut jika kami telah kembali kelak. Pula, belum tentu kesalahan berada dipihak dimas Jarot, hal ini sebaiknya paman pertimbangkan dulu setelah paman mendengar keterangan dari puteri paman nanti."

Akhirnya Tumenggung Suryawidura hanya mengangguk-angguk dengan penasaran dan kecewa, dan Adipati Uposonto lalu minta diri untuk mengadakan persiapan guna pemberangkatan besok.

Hari itu, pagi-pagi sekali Jarot sudah sadar dari samadhinya dan ia segera mendahului Sekarsari ke bengawan, dimana ia sengaja bersembunyi dan menanti kedatangan Sekarsari.

Betul saja, tak lama kemudian tampak gadis itu mendatangi dengan kelenting tempat air di tangan kanan dan pakaian cucian di tangan kiri. Jarot kaget juga melihat wajah yang muram dan sedih dengan tubuh yang kelihatan lemah-lunglai itu. Sekarsari tampak bagaikan seorang yang tidak sehat, mukanya demikian pucat dan matanya kemerah-merahan karena banyak menangis.

Ketika tiba di pinggir bengawan, Sekarsari menurunkan bawaannya lalu pergi duduk di atas sebuah batu. Disitu ia duduk melamun, diam tak bergerak bagaikan patung sambil memandangi air bengawan yang mengalir tiada hentinya. Ia tidak mendengar betapa seorang pemuda menghampirinya dari belakang.






"Sari....."

Gadis itu tersentak kaget dan cepat ia menengok, tapi segera ia membuang muka ketika melihat Jarot.

"Sari, kau kenapa? Agaknya kau marah padaku."

Gadis itu tidak menjawab, tapi matanya telah penuh air mata yang ditahan-tahannya dengan menggigit bibir.

Jarot meloncat ke atas sebuah batu di depan Sekarsari hingga mereka duduk berhadapan. Gadis itu menundukkan muka menyembunyikan air matanya.

"Sari, jangan kau marah padaku. Kalau aku bersalah, katakanlah terus terang, aku akan menerimanya dan minta maaf....."

Kata-kata ini dikatakan dengan halus hingga untuk beberapa lama gadis itu menatap wajah Jarot, kemudian ia menangis tersedu-sedu.

"Sari, kenapakah? Jangan kau terus marah padaku, Sari. Aku tak kuat menahan jika kau bersikap seperti ini....."

Gadis itu mengangkat muka dan dari sepasang matanya yang merah terpancar sinar kemarahan.

"Kau..... kau kira aku,.,, akupun senang dan dapat menahan melihat..... sikap dan kelakuanmu?"

Jarot mengerutkan kening.
"Kau maksudkan.,.. Maduraras?? Kalau begitu, kau..... kau.... cemburu? Kalau begitu, kau.... kau....... cinta padaku?" Wajah Jarot berseri, tapi alangkah terkejutnya ketika ia melihat perubahan air muka gadis itu.

Sekarsari menjadi pucat bagai mayat dan sepasang matanya bagaikan bernyala. Jarot insyaf dan menyesali kebodohannya. Ia terlampau jujur dan ceroboh hingga kata-katanya itu tentu saja menyinggung perasaan halus gadis itu.

"Apa katamu? Cemburu? Cinta.....,.? Siapa... siapa yang cemburu? Apa perduliku akan hubunganmu dengan Maduraras? Aku tidak,... tidak berhak untuk merasa cemburu!! Dan cinta? Aku.... aku.....!"

Tiba-tiba Sekarsari menutup mukanya dan lari meninggalkan tempat itu, lupa untuk membawa cucian dan kelentingnya. Ia lari pulang sambil menangis.

"Sari..... Sari..., aku cinta padamu, Sari.....!" Jarot berdiri dan berteriak-teriak.

Tapi Sekarsari lari terus, bahkan isaknya makin mengeras. Pengakuan Jarot ini dilakukan bukan pada saat yang tepat, dan Sekarsari mendengar ucapan itu bagaikan bernada penuh ejekan.

"Sari...... kembalilah, aku cinta padamu, Sari......" dan Sekarsari lari terus, kini menggunakan dua jari telunjuknya untuk dipakai menutupi telinganya!

Setibanya di rumah, Sekarsari terus memasuki biliknya, membanting dirinya di atas pembaringan dan menangis tersedu-sedu. Tuduhan Jarot bahwa ia cemburu dan mencintai pemuda itu terlalu tepat dengan isi dadanya hingga sangat menusuk rasa keangkuhannya. Hatinya telah luka karena persangkaannya bahwa Jarot mempunyai hubungan dengan Maduraras kini Jarot memberi obat pada lukanya itu, tapi obat yang sangat perih hingga ia tak kuat menahannya.

Jarot yang masih bodoh untuk dapat menyelami perasaan dan hati wanita, sangat canggung dalam pernyataannya tadi, hingga ia baru menyatakan cintanya setelah terlambat, setelah tuduhannya yang tepat itu menyinggung dan menyakiti hati Sekarsari. Kalau saja ia menyatakan cintanya lebih dulu, takkan begitu jadinya!

Kini melihat Sekarsari lari darinya dan tak mau menerima pernyataan cintanya, hatinya menjadi tawar dan dingin. Ia tersenyum pahit dan senyum ini membuat wajahnya tampak lebih tua dan matang.

Tanpa diketahuinya, peristiwa ini menimbulkan garis-garis baru pada kulit mukanya. Dengan tubuh lesu ia kembali ke pondok, tak lupa untuk membawa pakaian dan tempat air Sekarsari yang ditaruhnya di depan bilik gadis itu. Kemudian ia pergi ke kandang, menuntun Nagapertala keluar dan sebentar lagi ia sudah berada di alun-alun dimana para perajurit telah siap berangkat, dikepalai oleh Uposonto dan beberapa orang panglima lain.

Setelah mendapat doa restu dari Sri Sultan, maka berangkatlah bala tentara Mataram yang gagah itu, diiringi gamelan selamat jalan. Rakyat berdesak-desakan di tepi jalan untuk mengucapkan selamat jalan dan menyampaikan doa-doa mereka.

Diantara rakyat yang berdesak-desakan, Jarot melihat bayangan Maduraras disuatu tempat dan bayangan Sekarsari di tempat lain. Kedua orang gadis itu memandangnya dengan sinar mata yang sama, kedua-duanya mesra dan penuh api cinta!

Expedisi penjelajah Sultan Agung tidak menemui rintangan, karena ternyata para kepala daerah kecil-kecil tahu sampai dimana kekuasaan dan kebijaksanaan Mataram di bawah pimpinan Sultan Agung dan mereka ini dengan senang hati menyatakan tunduk dan taat.

Tapi di Wlrasaba, Lasem, bala tentara menemui perlawanan yang hebat juga. Dalam pertempuran dengan mereka, selain para panglima yang gagah perkasa di bawah pimpinan Uposonto, Jarotpun berjasa besar. Terutama ketika barisan Lasem mengeluarkan seorang pertapa dari Gunung Muria bernama Kyai Sidik permono. Para panglima Mataram tidak ada yang kuat melawan kyai ini, karena pertapa ini menggunakan aji kesaktian yang tak dapat dilawan dengan mengandalkan kekebalan kulit dan kekerasan tulang belaka.

Bahkan Uposonto terpaksa mundur setelah mengadu kemahiran tenaga batin dengan Kyai Sidik permono dan pertapa itu menggunakan ajinya Ciptoguno yang hebat. Apa saja yang dipegang oleh pertapa itu, baik batu, daun, atau kayu, setelah dilempar ke arah lawan lalu berubah menjadi tentara siluman yang mengerikan!

Akhirnya Jarotlah yang maju menandingi pertapa itu. Melihat kedatangan pemuda yang tampan dan halus itu, Kyai Sidikpermono terkesiap juga karena dari sinar matanya ia maklum bahwa pemuda itu bukanlah orang sembarangan.

"Satria perwira, belum pernah aku melihat panglima Mataram seperti kau. Siapakah namamu, raden?” tanya Kyai Sidik permono.

"Saya bernama Jarot dan bukan panglima. Saya perajurit sukarela biasa saja."

Maka heranlah pertapa itu mendengar jawaban Jarot.
"Hm, kau perajurit biasa? Kau lihat betapa semua panglima Mataram yang gagah perkasa tak kuat melawanku. Apakah kau juga hendak mencoba kesaktianku, raden? Ah, kau takkan kuat, mundurlah saja, Raden Jarot, sayang kalau sampai kau kena bencana."

"Paman Kyai, kau menyuruh saya mundur. Mengapa tidak kau saja yang mundur? Betapapun juga, aku adalah seorang pemuda yang telah sengaja menjadi perajurit untuk berperang membela Mataram. Tapi kau, paman kyai, kau adalah seorang pertapa suci yang seharusnya menjauhi pertumpahan darah dan berdiam saja di padepokanmu menyucikan diri dan mengajar ilmu, memberi penerangan kepada yang kegelapan dan memberi nasihat kepada yang tersesat. Mengapa kau bahkan memperbesar peperangan ini dengan mengeluarkan aji kesaktianmu?"

Sepasang mata pertapa tua itu mencorong dengan kagum dan penasaran.
"Raden, pandanganmu biarpun ada benarnya tapi hanya memihak sebelah. Kau hanya mempersoalkan kedudukan seorang dan pekerjaannya. Itu kurang luas, raden. Pandanganku lebih luas lagi. Aku adalah rakyat atau penduduk sini. Sudah menjadi kewajibanku untuk membela negeri dimana saya tinggal. Aku tidak mengurus tentang sebab dan akibat perang ini. Aku hanya patuh kepada panggilan tugas, tugas seorang kawula. Ingat, yang kulawan bukanlah kau dan kawan-¬kawanmu, tapi aku melawan penyerang Lasem, siapa saja mereka itu adanya."

"Kau betul, paman kyai. Kalau demikian luas pandanganmu, nah, sekarang kita sebagai petugas hanya memenuhi kewajiban saja. Majulah, aku akan mencoba untuk melawan kesaktianmu. Menang kalah itu hanya akibat kecil. Mati atau hidup itupun hanya perpindahan sederhana saja."

Kyai Sidikpermono tertawa bergelak.
"Ah, tak salah lagi. Kau panglima sesungguhnya. Aku takkan merasa malu jika nanti jatuh dalam tanganmu. Nah, majulah, raden!"

"Kau dulu, paman kyai."

Melihat Jarot berlaku sungkan, Kyai Sidikpermono segera maju menyerang. Biarpun ia sudah tua, namun gerakannya gesit dan pukulan tangannya ampuh dan berat. Jarotpun tahu bahwa orang tua ini tak boleh dipandang ringan, maka ia melayaninya dengan hati-hati dan mengandalkan kegesitan dan keringanan tubuhnya.

Setelah bertempur puluhan jurus, Kyai Sidik permono tak tahan lagi, dan hanya dapat menangkis sambil mundur. Tiba-tiba Kyai Sidik permono menyaut sebatang tombak dari tangan perajuritnya, dan Uposonto yang sudah siap lalu memberi Jarot sebatang pula.

Kini pertempuran dilanjutkan dengan tombak di tangan. Para perajurit kedua pihak bersorak-sorak ramai untuk memberi semangat kepada jago mereka. Namun ternyata bahwa dalam permainan tombak, Kyai Sidik permono bukanlah lawan Jarot. Pada satu saat terdengar bunyi keras dan tombak di tangan pertapa itu patah! Kalau saja saat itu digunakan oleh Jarot untuk menyerang dengan tombaknya, tentu celakalah pertapa itu. Tapi Jarot melempar tombaknya hingga tertancap diatas tanah, dan menghadapi pertapa itu dengan tangan kosong.

"Raden Jarot, kau sungguh gagah perkasa!"

"Mari paman kyai, lanjutkanlah, saya layani!"

"Tapi aku belum kalah, raden. Cobalah lawan ajiku ini!"

Dengan gerakan cepat Kyai Sidikpermono melempar potongan gagang tombak di tangannya ke atas dan aneh, potongan kayu itu lenyap dan tiba-tiba di depan Jarot berdiri seorang siluman tinggi besar yang menyeramkan, hingga para perajurit di pihak Jarot mundur ketakutan. Juga Uposonto yang tadi telah merasai kehebatan aji ini, mundur beberapa tindak dan mengkhawatirkan keselamatan Jarot.

Keris Pusaka dan Kuda Iblis







No comments:

Post a Comment